RESENSI BUKU
BUKU PERTAMA
Judul : Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-
Naskah Palembang
Penulis : Achadiati Ikram
Penerbit : Wedatama Widya Sastra
Tahun : 2014
Salah satu keistimewaan Palembang
sebagai tempat penemuan bukti-bukti arkeologi ialah adanya suatu
kesinambungan dari segi penanggalan. Hal ini menandakan bahwa Palembang
memiliki masa okupasi yang panjang dan bersinambung, sehingga di satu tempat
seringkah ditemukan data-data sejarah dari zaman yang berbeda-beda. Meskipun banyak tulisan dari zaman Sriwijaya diperkirakan hilang,
bukanlah berarti bahwa sastranya mati setelah wilayah Palembang menjadi
bawahan Majapahit Dari naskah yang sempat sampai di tangan kita dapat
diperkirakan bahwa terjadi pengalihan sastra Jawa ke sastra Melayu. Sastra Jawa Kuna dan Tengahan
antara lain sastra Panji dan Mahabharata, dua kumpulan cerita yang mengalami
popularitas tinggi di Jawa, di alam Melayu persebarannya meluas sampai ke
semenanjung Malaka. Setelah
masa penguasaan Cina, menurut tradisi lisan, Ki Gede Ing Suro mendirikan
kerajaan yang dinamakan Palembang. Dikisahkan bahwa pendiri kerajaan ini.
berasal dari daerah pesisir utara Jawa. Nama Palembang sebagai kerajaan
disebut dalam naskah Sejarah. Melayu yang dipastikan dikarang sebelum tahun 1536.
|
Ada beberapa tempat di Nusantara yang dipandang sebagai
pusat sastra Melayu, misalnya Riau, Jakarta, dan Palembang. Abad ke-19
merupakan masa keemasan penyalinan naskah Melayu. Waktu itu, Riau, khususnya
Pulau Penyengat, merupakan pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan Melayu.
Kegiatan menulis dan mengarang dilakukan di Istana Pulau Penyengat oleh kerabat
istana, seperti Engku Haji Ahmad dan anaknya, Raja Ali Haji, yang terkenal
dengan karyanya Gurindam Dua Belas.
Selain kalangan istana, pemerintah
kolonial juga merupakan pemrakarsa penyalinan naskah di Riau. Beberapa nama
pejabat Belanda yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah Von de Wall,
Klinkert, C.P.C. Elout. Penyalinan naskah itu dilakukan untuk kepentingan
pribadi dan pemerintah kolonial. Beberapa juru tulis yang bekerja di situ
antara lain Haji Ibrahim, Encik Ismail, dan Encik Said.
Jakarta atau Betawi – tempo dulu – dikenal juga sebagai
tempat penyalinan. Salah satu contoh tempat penyalinan adalah kantor pemerintah
kolonial Belanda Algemeene Secretarie yang terletak di Rijswijk
(jalan Veteran). Di tempat itu para juru tulis pribumi, seperti Muhamad Cing
Saidullah, Muhamad Sulaiman, dan Abdul Hakim, menyalin naskah atas pesanan
Belanda sebagai bahan pendidikan.
Di samping itu, tempat penyalinan dan
persewaan naskah juga tersebar di kampung-kampung seperti Krukut,
Pecenongan-gang Langgar Tinggi, Pasiwaran, Kampung Jawa, dan Kampung Bali.
Salah satu penyalin yang juga pengarang adalah Muhamad Bakir, yang memiliki
koleksi naskah yang banyak. Ia mencari nafkah dari naskah-naskahnya yang
disewakan.
Palembang juga
tercatat memiliki warisan budaya berupa naskah-naskah yang berasal dari Keraton
Palembang dan milik perorangan. Tulisan ini memaparkan selintas tradisi
penyalinan naskah di Palembang, mulai dari latar belakang sejarah daerah
Palembang, penyalinan naskah Melayu di Palembang, hingga selintas informasi
mengenai muatan naskah.
Latar Belakang
Sejarah Palembang dan Kaitannya dengan Penyalinan Naskah Melayu. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Bahar`uddin tahun 1775 – 1804, keadaan
perekonomian di Palembang baik karena ditopang oleh tambang timah dari Pulau
Bangka dan ekspor lada. Situasi inilah yang membuat pelabuhan Palembang dilirik
oleh para pedagang dari negeri lain seperti Arab dan Cina. Oleh karena Aceh
telah memudar dari segi ekonomi, para pedagang mencari kemungkinan tempat lain,
yaitu di Palembang (lihat Peeters 1997: 5-31 dan Van Sevenhoven 1823: 75 ).
Kedatangan
orang-orang Arab dari Hadramaut membawa perubahan kehidupan sosial-budaya bagi
masyarakat Palembang. Kedekatan sultan dengan orang-orang Arab sebagai mitra
dagang menyebabkan mereka mendapat perlakuan yang khusus. Itulah sebabnya,
makin lama jumlah mereka membengkak. Pendatang dari Hadramaut itu tinggal
berkelompok di kampung-kampung Ulu dan Ilir Sungai Musi. Perkawinan orang-orang
Arab dengan penduduk setempat ataupun kerabat keraton pun tidak terhindarkan.
Di antara orang
Arab, yang menonjol adalah al-Munawar, yang tinggal di 13 Ulu; Assegaf di 16
Ulu; dan al-Mesawa di 14 Ulu. Di samping itu, mereka juga memiliki markas besar
al-Habsyi di 8 Ilir; Barakah di 7 Ulu; al-Jufri di 15 Ulu; serta Alkaf di 8
Ilir dan 10 Ulu. Pada paruh kedua abad ke-19 mereka menjadi kelompok elite Arab
di Palembang. Masyarakat Arab di sana kebanyakan anggota Ba`alawi, yang
menelusuri garis keturunan mereka dari Nabi Muhammad melalui cucunya, Husain.
Kedudukan para Alawiyin, dengan sapaan sayid, dipandang tinggi dalam masyarakat
Palembang dan juga sebagai orang yang suci. Para saudagar
Arab dan sayid itulah yang mempunyai pengaruh besar dalam proses pengislaman
masyarakat Palembang, di samping Sultan Palembang sendiri. Agama Islam tampaknya mempunyai
kedudukan penting dan erat berhubungan dengan Keraton Palembang yang menganut
budaya Jawa. Ini terlihat pada birokrasi agama di lingkungan istana
pada masa kesultanan; para pejabat itu berasal dari keluarga sultan dengan
gelar Pangeran Penghulu Nata Agama. Waktu itu, Masjid Agung yang terletak di
belakang Keraton adalah satu-satunya masjid di Palembang, yang didirikan di
atas tanah wakaf Sultan Palembang. Ketika ada upacara keagamaan, para pangeran
itulah yang bertanggung jawab atas segala pelaksanaannya. Situasi menjadi
berubah ketika tahun 1821 terjadi perebutan Keraton Palembang oleh pemerintah
kolonial Belanda. Sejak saat itu, secara berangsur-angsur peran sultan dan para
bangsawan merosot, karena Keraton pun ikut dilenyapkan, dan pemerintah kolonial
kemudian yang mengambil alih kekuasaan. Berkaitan dengan kegiatan penyalinan naskah,
dapat dibuktikan bahwa Keraton Palembang juga menghasikan naskah-naskah yang
penulisannya atas perintah sultan, dan ada yang dikarang oleh Sultan Mahmud
Badaruddin. Perpustakaan di lingkungan Keraton menyimpan beragam naskah.
Keruntuhan Keraton Palembang menyebabkan naskah tercerai-berai, jatuh ke tangan
berbagai kalangan masyarakat (lihat Woelders 1975, Drewes 1977, dan Iskandar
1986).
Gaya kehidupan
para sayid semakin eksklusif setelah terjadi pergantian kekuasaan. Antara lain
mereka memesan buku-buku dari Mesir, Istanbul, Irak, dan memiliki naskah bahasa
Arab, Parsi, dan Melayu. Kualitas perekonomian semakin meningkat sehingga para
saudagar yang kaya tidak segan-segan memberikan modal dagang kepada penduduk
setempat asalkan mau memeluk agama Islam. Untuk menunjang kegiatan pelajaran
agama mereka mendirikan masjid-masjid di sekitar perkampungan Arab tempat
kediamannya (Peeters 1997: 17-18).
Pengarang,
Penyalin, dan Tempat Penyalinan Naskah
Adanya
keragaman budaya Palembang bercampur dengan Jawa, Arab, Cina, serta adanya
lapisan sosial kelompok bangsawan dan masyarakat biasa itulah yang mewarnai
kehidupan sosial penduduk Palembang. Hal itu tercermin dari naskah-naskah yang
masih dapat diselamatkan, baik yang berasal dari lingkungan Keraton,
perkampungan Arab, maupun penduduk setempat. Sebagian naskah
dari Keraton kini ada yang disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Hikayat
Martalaya (PN Ml. 5), yang isinya bersifat sejarah, adalah karangan Sultan
Mahmud Badaruddin; Syair Nuri (PN Ml. 8) juga gubahan Sultan Mahmud
Badaruddin. Adik Sultan Mahmud Badaruddin, yaitu Panembahan Bupati, menggubah Syair
Patut Delapan (PN Ml. 9) dan Syair Kembang Air Mawar (PN Ml. 10)
(Iskandar 1996: 432— 433). Kolofon yang berbentuk syair pada
naskah Khawwaasu al-Qur`aan (PN Ml. 75) demikian bunyinya (Sutyani
2000),
Sahibul kitab paduka seri sultan
Ratu Ahmad Najamudin al-Sultan
Mahmud Badarudin Palimbani
yang termashur beroleh, kesempurnaan
Zamannya yang duduk di atas kerajaan
negeri Palembang sudah berapa zaman
dengan karenanya Tuhan malikul iman
menjadilah negeri beroleh aman
Daripada banyak berbuat yang ihsan
memberi manfaat pada segala insan
menjadi pada beroleh kesukaan
bertambah berkait khasyiat Alquran
Dikarena itulah kerajaan ini
menyuruh hamba menyurat kitab ini
yang bernama kitab Khawwaasu Qur`aan
kepada Kiai Kemas Fakhrudin
Pada naskah Kitab
Mukhtasar (PN Ml. 120), ada pernyataan bahwa yang menerjemahkannya ke dalam
bahasa Melayu adalah Kemas Fakhrudin yang tinggal di Palembang Darussalam.
Kolofon naskah Seribu Masa`il
(PN Ml. 667 dad W. 8) menjelaskan demikian, "Hikayat kitab seribu
masalah di dalamnya ini yang punya saya Kiagus Muhammad Mizan ibnu al-Faqir
al-`aqiir ilaa Allaah Ta`aalaa Kiagus Haji Khatib Thaha fii balad Palembang
Kampung Surah 30 Ilir adanya." Selain sebagai pemilik, nama tersebut
juga yang menyurat Seribu Masa`il.
Yang berkaitan dengan penyebaran
tarikat di Palembang adalah Hikayat Manaaqib Muhammad Sammaan (PN Ml.
828), yang pada akhir teksnya terdapat pernyataan bahwa yang menghimpun risalat
itu adalah Muhammad bin Ahmad Kemas di Palembang. Naskah lainnya adalah `Ariiqah
yang Dibangsakan kepada Qaadiriyyah dan Naqsyabandiyyah (PN Ml. 149), yang
di dalamnya terselip kertas yang menjelaskan bahwa pengarangnya adalah Ahmad
bin Khatib Abdul Ghaffar dan penyalinnya adalah Muhammad Ma`ruf bin Abdullah
Khatib Palembang.
Dalam Sejarah Pasemah (PN Ml.
234) terdapat catatan yang menyatakan bahwa, "Salinan dari buku orang
yang menjadikan jagat Pasemah dari kitab orang Tanah Pilih marga Sumbai Ulu
Lura Benua Keling yaitu Pangeran nama Somadil Dusun Tanah Pilih disalin oleh
saya Muhammad Taijib magang di kantor Bandar Pasemah 25 Januari 1882."
Kemudian juga ada catatan pada akhir
naskah, "Menyalin ini buku pada 20 November 1898 yang punya saya
Muhammad Arip." Tampaknya naskah ini telah disalin kembali setelah
tahun 1882, dan mungkin pula berganti pemilik.
Naskah Koleksi Perorangan
Beragam naskah
Palembang yang diuraikan di atas disimpan dengan baik di Perpustakaan Nasional,
Jakarta. Oleh karena itulah, kita dapat memperoleh gambaran mengenai
skriptorium Melayu di Palembang, yang terpencar mulai dari lingkungan Keraton
sampai ke perkampungan Ulu dan Ilir. Pembicaraan yang terakhir adalah tentang
naskah-naskah koleksi perorangan yang keadaannya banyak yang sudah rusak. Untuk
merawatnya, diperlukan pengetahuan dan dana yang cukup banyak. Informasi ini
diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh tim Yayasan Naskah Nusantara
(Yanassa), dibantu oleh anggota masyarakat Palembang sendiri pada tahun 2003,
yang membuktikan adanya ratusan naskah yang masih tersebar di perkampungan
Palembang.
Dari koleksi
naskah keturunan Sultan Mahmud Badaruddin, yaitu Raden Haji Muhammad Syafei
Prabu Diraja, yang sekarang bergelar Sultan Mahmud Badaruddin III, antara lain
adalah naskah Rukun Islam (MSPN 32). Pada bagian awal naskah tersebut
terdapat catatan, "Alamat kitab Sri Paduka Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin
ibn Sri Paduka Sultan Muhammad Bahauddin fi balad Palembang Dar as-Salam,
amin." Pada bagian bawah tertulis, "Disuratnya Kiai penghulu
orang mta-r-d-r.” Pada halaman akhir terdapat catatan, "Sanah 1281 sehari
bulan Rajab pada malam Ahad jam pukul sembilan masa itulah zahir Sri Paduka
Susuhunan Mahmud Badaruddin. Sanah 1264 pada empat betas hari bulan Safar hari
Jumat pada bulan terbit matahari masa itulah dapat Sri Paduka Susuhunan
Mahmud."
Ada pula teks Hikayat
Syekh Saman (MSPN 5) yang disalin di Palembang pada hari Kamis, Jumadil
Akhir 1301 H (Maret 1883 M). Di dalam MSPN 5 juga terdapat teks Doa Tawasul
berbahasa Arab.
Naskah lainnya adalah Sifat Dua
Puluh (MSPN 13) yang ditulis pada 1326 H, hari Rabu, pukul 08.00, yang juga
menyertakan catatan nama dan alamat, yaitu Rd. Abdullah bin Rd. Muhammad Yasin
bin Rd Mahmuddin, Kampung 28 Ilir, Palembang.
Cap milik Sultan Badaruddin (MSPN 2)
yang dibuat dari logam kuningan masih tersimpan dengan baik bertuliskan, "Khaliifatu
al-mu`miniin Susuhunan Ratu Muhammad Badaruddin ibn Sultan Muhammad Bahauddin
fii balad Palembang Dar as-Salam, Hijrat Nabi Sallaa Allaahu `alaihi wa sallam
alf wa mi`atain arba`in wa falaafin sanah 8642."
Naskah Surat Tarasul (MSPN 27)
pada bagian awal memuat catatan, "Ini Surat Tarasul yang empunya Tuan
Haji Mahmud bin Haji Abdul Muhammad." Kemudian terdapat catatan di
bagian akhir bahwa naskah ini telah diberikan kepada Raden Prabu Zainuddin
Abdul Habib Palembang. Akan tetapi, sebenarnya naskah ini disalin tidak di
Palembang, yang tertandai dari bunyi kolofonnya, "Surat ini di dalam
Bandar Negeri Singapura Kampung Sumbawa di belakang masjid Encik Fatimah Riau,
wa katabahu al-faqiir ila Allaahi Ta`aalaa al-Jaawii al-Palimbanii yafisyahu
Allaahu Ta`aalaa flu ad-diin gamin yaa Rabb al-aalamiin bitaarikh 1274 tahun
1857."
Kebiasaan menulis catatan harian di
lingkungan kesultanan merupakan hal yang menarik sebagaimana yang terlihat dari
Catatan Harian (MSPN 3), yang di dalamnya tertulis catatan,
Ini milik Raden
Syarif bin Paduka Raden Haji Abdullah Habib bin Martina, Paduka Syarif ibn Haji
Prabudari tujuh Abdullah bin marhum Sri Paduka Sultan Susuhunan Mahmud
Badaruddin ibn marhum Sri Paduka Sultan Mahmud Bahauddin ibn marhum Sri Paduka
Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin ibn marhum Sri Paduka Sultan Mahmud
Badaruddin ibn marhun Sri Paduka Sultan Mahmud Mansur ibn marhum Sri Paduka
Sultan Susuhunan Abdurrahman sekalian mereka itu di atas tahta kerajaan di
dalam negeri Palembang.
Kegiatan para raden, yang dimulai
dengan kelahiran atau perjalanan ke tempat lain seperti Gresik, dicatat dengan
hari dan tanggalnya. Catatan harian milik Raden Haji Abdul Habib (MSPN 4),
keturunan Sultan Mahmud Badaruddin, ada yang ditulis di Singapura, yang isinya
antara lain memuat waktu kelahiran, kematian, dan tempat kubur Raden Ayu
Zubaedah. Penanggalan dalam naskah catatan harian Raden Abdul Habib bertahun
1860. Akan tetapi, tampaknya ada kesinambungan dalam penyalinan naskah berupa
catatan harian sesudah abad ke-19, yang terlihat pada naskah Catatan
Perkawinan (AS 7): peristiwa perkawinan di Palembang yang berkisar tahun
1951 -1953 dicatat di dalamnya. Naskah ini berisikan daftar orang yang
dinikahkan oleh Kemas Haji Ismail Umari, di Kampung 19 Ilir, Palembang, pemilik
catatan ini. Naskah yang tanpa tahun, tetapi di dalamnya tercatat peristiwa
pada tahun 1900-an, adalah Catatan Perjalanan ke Gunung Tangkuban Perahu
(RMA 6), yang berisikan perjalanan anak-anak sekolah sewaktu libur dari Bandung
ke Lembang menuju ke gunung.
Alquran yang beriluminasi tinta emas
bervariasi tinta merah dan biru serta hiasan motif bunga dikoleksi oleh
Perpustakaan Nasional (MSPN 2). Di dalamnya terdapat dua catatan. Catatan yang
pertama menjelaskan, "Ini Paduka Pangeran Bupati bin Paduka Susuhunan
Mahmud Badaruddin fi Palembang." Catatan yang kedua menjelaskan, "Sudah
diberikan Paduka Pangeran Prabu ...kepada anaknya Raden Abdul al Habib masa di
Ternate."
Pemilik naskah lain yang juga kerabat
sultan adalah R.M.H. Akib (alm.). Naskah koleksinya ada yang berupa Surat
Sultan Badaruddin II (RMA 4) Yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Raad van
Indie. Isi surat menyatakan bahwa Sultan telah mengirimkan 150 pikul lada
hitam, 20 pikul lada putih, 40 pikul timah putih, dua pikul lilin, 2000 pikul
gambir, dua kepala gading, papan embelu 4 keping, sepasang tikar rotan, 2
keping papan embelu, tongkat torat berkepala emas. Tanggal yang dimuat dalam
surat itu adalah "Palembang, 13 bulan Rabiul Awal, hari Arba`a pukul
lima tarikh as-sanat 1224".
K.M.S. H. Andi Syarifuddin memiliki
Perpustakaan Umariyah, yang terletak di kawasan 11, samping masjid Sultan, 19
Ilir, Palembang. Rumah itu dulu milik kakeknya; ia mewarisi naskah-naskah dari
kakeknya. Koleksi naskahnya cukup banyak, umumnya teks keagamaan dan surat.
Kakeknya bernama Tuan Guru Kemas Haji Umar; kerabat Sultan ini juga seorang
khatib dan qadi.
Naskah Kitab Maulid Syaraf Al-Anaam
(AS 2) ada dua di perpustakaan itu. Teks pertama disalin oleh Lanang bin Abdul
Majid, di 37 Ilir Palembang, pada tahun 1269 H atau 1852 M. Naskah yang kedua
(AS 23) disalin oleh Haji Zen Bangsawan di Kampung 15 Ilir, Palembang, tanpa
tahun. Naskah ini dijilid dengan kulit binatang; naskah dengan sampul yang
mahal seperti ini biasanya berasal dari lingkungan keraton.
Kebiasaan menulis surat dengan tulisan
Arab dan berbahasa Arab atau Melayu tampaknya banyak dilakukan oleh masyarakat
Palembang. Selain surat-surat Sultan, juga ditemukan surat-surat penduduk
kampung yang isinya bersifat kekeluargaan. Banyak surat dikirim dari Mekah ke
Palembang atau, sebaliknya, dari Palembang ke Mekah. Pengirim surat dari Mekah
ada yang sedang menunaikan ibadah haji atau sedang menuntut ilmu di sana.
Sebagai contoh adalah naskah surat Kemas Haji Umar bin Kemas Haji Abdurrahman
di 19 Ilir, Palembang (AS 3). Surat itu ditujukan kepada Haji Abdul Hamid bin
Haji Muhammad Yasin di Mekah. Isinya menyatakan bahwa ia minta didoakan dari
tempat-tempat suci yang mustajab di Mekah dan ia memberitahukan telah
mengirimkan uang untuk membeli sapi atau kambing sebagai aqiqah.
Surat dari Ahmad Badruddin dan kawan-kawan
(AS 5) untuk Tuan Guru Kemas Haji Umar, 19 Ilir, Palembang, isinya mengabarkan
bahwa mereka telah sampai di Mekah dengan selamat dan mengucapkan selamat
berkenaan datangnya bulan Ramadan yang penuh berkah.
Waktu penulisan surat terlihat ada yang
dari tahun 1831, 1835, 1836, 1843, tetapi ada pula surat yang ditulis pada
tahun 1931, yaitu naskah Surat Abdullah Amin (AS 10), yang penulisnya
sedang belajar di Mekah dan mengirimkan surat kepada Tuan Guru Haji Kemas Amir,
di Kampung Wara Ilir, Palembang. Isinya sekedar memberi kabar selamat. Fakta
ini memperlihatkan bahwa tampaknya kegiatan penyalinan naskah masih berlanjut
sampai abad ke-20.
Dalam Syair Inu Kertapati (AS 4)
terdapat catatan yang menyebutkan nama-nama pemilik naskah itu demikian, "Ini
sair yang empunya Nyimas Fatima binti Kemas Haji Amak istri Kiagus Haji Ung
yang Kampung 19 Ilir yang empunya ini syair Najamudin."
Masih dari Kampung 19 Ilir, dalam
naskah Matnu Ad-Daurah (AS 11) kolofonnya demikian, "Ditulis
pada empat hari bulan Jumadil Akhir hari Isnin jam dua tahun 1293 Hijriyah
katabahu al-faqir Ki Agus Haji Abd al-Shamad bin Ki Agus Haji Shadar yang
ditulis di Kampung 19 Ilir."
Dalam naskah cetak (AS 55) yang
berjudul Syair Perang Menteng 1819-1821 terdapat satu teks lain,
yaitu Syair Siti Haris Fadilah. Naskah ini berasal dari lingkungan
istana, seperti terlihat dari sampulnya yang terbuat dari kulit bermotifkan
sulur. Kolofon dari naskah ini menarik, karena di dalamnya diperinci waktu,
tempat dan orang yang terlibat dalam pencetakan naskah itu, "Setelah
khatamlah Syair Haris Fadilah dicap di atas batu di dalam bandar negeri
Singapura, daerah Kampung Gelam, di rumah sewa Imam Fakir Abdul Jalil kepada
dua Jumadil Akhir hari Jumat jam pukul tiga petang dewasa itulah. Tamatnya
sanat 1283 yang empunya cap Encik Lung tukang buku, yang menyuratnya Tengku
Raden Ali bin Tengku Raden Muhammad, yang mengecapnya Encik Abdurrachman bin
Abdussamad adanya. Tamat."
Pemilik naskah lain adalah yang berasal
dari perkampungan Arab, sehingga bukan hal yang mustahil bila di tempat ini
juga ada kegiatan penyalinan naskah. Seperti diuraikan dalam latar belakang
pada bagian awal, mereka mendirikan masjid di sekitar tempat kediaman, selain
untuk beribadah juga untuk kegiatan belajar agama. Banyak pengarang dari Palembang
yang menghasilkan naskah keagamaan, seperti Abdussamad al-Palembani,
Syihabuddin, Muhammad Muhyiddin, dan Kemas Fakhruddin. Masa kejayaan
orang-orang Arab di Palembang yang sukses di bidang perdagangan sudah berlalu.
Kini rumah-rumah di perkampungan Arab tampak tidak terlalu terawat dan umumnya
pemilik naskah sudah tua. Naskah pun juga banyak yang sudah rusak.
Di samping yang telah disebut di atas,
terdapat pula beberapa nama lain, yaitu Said Alwi Assegaf di Lorong BBC 12 Ulu,
Alwi Habib Baasin, Haji Ahmad Fauzi di 5 Ulu Laut 415, Alwi bin Ahmad Ba`asin,
keluarganya mendirikan Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Darul Aitam.
Habib Ahmad Al-Habsyi (alm.), yang
tinggal di lorong BBC 12 Ulu, mewariskan naskahnya pada cucunya, Said Alwi
Assegaf. Koleksi naskah keagamaan itu dulu dipakai oleh orang-orang yang
berkumpul di rumahnya untuk memperdalam agama. Naskah Ilmu Fikih
memiliki ketebalan 400 halaman, berbahasa Arab dan Melayu. Lembar halaman depan
bertanggal 1278 merupakan milik Ali bin Umar Syekh bin Hasan bin Abdurrahman
al-Habsyi, dan penulisnya adalah Muhammad Arsyad dari Banjar (Muhammad Arsyad
al-Banjari). Sampul naskah ini terbuat dari kulit bertatahkan emas dan
berpenutup (flap). Kolofonnya demikian, "Inilah kitab al-faqir
ilaa Allaahi Ta`aalaa sayyidu asy-syarii fi Umar ibnaina al-marsuumi as-Sayyidi
asy-Syariifi Sayaikhi bin Hasan bin "Abdi ar-Rahmaani al-Habsyi al-`Alawii
`afaa Allahu `anhum aamina. Tamma."
Ilmu al-Faraid (AAB 9) adalah
salah satu naskah berbahasa Arab milik Alwi bin Ahmad Ba`asin atau biasa
disebut Mualim Nang, yang kini diwarisi oleh Ali bin Ahmad. Kepemilikan
naskah ini mengalami pergantian sebagaimana yang terlihat pada tulisan pada
halaman awal. Naskah ini pada mulanya dimiliki oleh Abdullah bin Hasan
al-Habsyi, di situ tertera capnya. Kemudian naskah pindah ke tangan Abdurrahman
bin Muhammad bin Abdurahman al-Munawar al-Segaf pada tanggal 18 Rabi`ul Awwal
1274 H (Oktober 1857).
Naskah Bunga Rampai Kehidupan Beragama (RP 7)
berbahasa Arab dan berisikan tiga teks. Teks yang pertama berisikan cara
mengatasi persoalan dalam pengalaman agama, selesai ditulis oleh Muhammad
Azhari al-Jawi pada tanggal 24 Rajab tahun 1240 H. Teks yang kedua mengenai
cara mengatasi persoalan hidup, selesai ditulis pada hari Sabtu, 19 Zulhijah
tahun 1250 H, oleh Abdullah bin Muhammad Saleh. Teks yang ketiga memuat
pokok-pokok agama sebagai landasan hidup, ditulis pada hari Senin bulan Rajab
1252 H.
Dari koleksi naskah Nyimas Laili
Yulita, putri sulutig Nyimas Ayu, yang memperoleh naskah dari neneknya, Hajah
Siti Hawa (83 tahun), terdapat naskah Ma`na Maulud (NLY 3). Pada halaman
depan naskah tertulis bahwa kitab ini dinamakan kitab Ma`na Maulud, yang
dimiliki oleh Nyai Kampung Dua Pulu Delapan Air Ilir, Sungai Tawar.
koleksi Muhammad Jufri Cek Jon (MJ 6),
yang dicetak di Bombay, dikenal di Palembang. Hikayat Puteri Johar Manikam,
demikian judulnya sebagai bentuk prosa, disalin di Jakarta oleh Muhammad Cing
Saidullah, juru tulis Melayu yang bekerja untuk pemerintah Belanda.
Museum Balaputra Dewa juga menyimpan
naskah-naskah Melayu, antara lain ada yang berupa syair, yaitu Syair Jaya
Sempurna (BD 5). Kolofon pada halaman pertama adalah sebagai berikut, "Dikarang
oleh Abu Bakar al-Kaf tiada diberikan seorang pun mengecapi atau mengurangi
atau menambahi melainkan dengan izin pengarangnya. Cetak yang kedua 1341 oleh
Hudaba`at al-Sidi Ali al-Samawi, Pasar Serta Palembang."
Pada awal teks
tertulis seperti ini, "Ini syair bernama Jaya Sempurna dikarang oleh B
bin J. Mudah-mudahan diampuni Allah bagi pengarangnya dan ayah-bundanya bagi
yang membacanya, dan mendengarnya, dan yang suka padanya. Tamma."
Kesimpulan
Penelitian
sanggar penyalinan dapat mengungkapkan sejarah penyalinan naskah Melayu yang
hidup di Palembang pada masa yang lampau. Selain itu,
melalui penelitian ini juga dapat dilihat keterkaitan antara tradisi lisan dan
tulis. Sebagai contoh, Syair Johan Malikan pada masa kini juga
dikisahkan dalam pentas ketoprak humor di televisi dengan nama Putri Johar
Manik.
Awal naskah
cerita Pak Belalang memuat pernyataan dari Haji Ibrahim penyalinnya
sebagai berikut-sebelumnya cerita itu adalah cerita lisan yang belum pernah
ditulis.
"Make inilah bidal Melayu yang
diambil ibarat dari nama bapak si Belalang... maka cerita ini belum seorang pun
yang menyuratkan maka hal keadaannya amat masyhur di tanah Melayu, di dalam
Riau dan Lingga… maka sekarang sangat maksud seorang sahabatku paduka Tuan Von
de Wall yang mencari dengan bersungguh-sungguh akan bahasa Melayu yang terus
apalagi yang dibuat bidal…. dalam bahasa Melayu... pada masanya di negri Johor
dan Pahang, Riau dan Lingga. Maka dengan sebab itu aku suratkan, maka hal
kendaanku bukan ahli sekali-sekali membuat hikayat…”
Kisah Pak
Belalang kini juga ada yang berbentuk CD dengan judul Nujum Pak Belalang,
di bawah lisensi SV Production SDN, BHD. Jadi, selama masih ada masyarakat
pendukungnya, karya sastra lama masih tetap ada.
BUKU KEDUA
Nama
Pengarang : Dr. Badri
Yatim Badri, M.A
Judul
Buku
: Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II )
Tahun
Terbit
: 2006
Tempat Terbit
: Jakarta
Tebal
Buku
: XIV + 338 Halaman
Penerbit
: PT Raja Grafindo Persada
ISBN
: 979 – 421 – 337 – 3
Sebuah buku yang berupa karangan
ilmiah yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim,MA ini membahas sejarah peradaban
islam yang tersistematis dan aktual. Hal ini dikarenakan hasil dari penelitian
yang lebih dari 10 tahunan. Penerbit PT Raja Grasindo Persada memang sudah pas
dalam mencetak dan memperbanyak kopian buku ini. Pembahasan tentang sejarah
islam akan sangat menarik dengan kupasan persoalan mengenai sejarah peradaban
islam secara mendalam
Sebagai salah satu mata kuliah
dirasah islamiyah dan merupakan bagian dari mata kuliah dasar umum (MKDU) yang
wajib dipelajari oleh setiap mahasiswa IAIN difakultas dan jurusan apapun,
Sejarah Peradaban Islam ( dirasah islamiyah II ) memiliki arti yang sangat penting
dan tidak bisa diabaikan oleh mahasiswa. Kegagalan dalam mengikuti perkuliahan
ini bisa berakibat sangat buruk dan mengancam kelangsungan studi mahasiswa yang
bersangkutan
Apalagi melihat sampai saat ini
belum ada buku yang memadai dalam memberikan penjelasan mengenai sejarah
peradaban islam membuat Dr. Badri Yatim,MA pada akhirnya menerbitkan buku ini,
hal tersebut juga menjadi motivasi beliau dalam terus menerbitkan karya -
karyanya yang lain untuk membantu mahasiswa dalam membantu studi perkuliahan
bagi mahasiswa, adapun karya – karya yang pernah ditulis beliau yaitu seperti
1. Alquran
dan hadist ( Dirasah Islamiyah I )
2. Sejarah
Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II )
3. Hukum
islam dan pranata sosial ( Dirasah Islamiyah III )
4. Ilmu
kalam, Fisafat dan Tasawuf ( Dirasah Islamiyah IV )
5. Pemikiran
moderen dalam islam ( Dirasah Islamiyah V )
Isi buku
Adapun yang menjadi pembahasan
dalam buku Sejarah Peradaban islam ( Dirasah Islamiyah II ) yang ditulis beliau
kali ini yaitu mempelajari Sejarah Peradaban Islam yang mencakup empat kawasan
islam di dunia yaitu :
- kawasan pengaruh kebudayaan arab (Timur tengah, Afrika utara dan Spanyol)
- kawasan pengaruh kebuadayaan persia ( iran dan Negara - Negara islam asia tengah )
- kawasan pengaruh kebuadayaan Turki
- kawasan pengaruh kebuadayaan India – islam dan berbagai wilayah islam lainya termasuk wilayah nusantara
Isi buku Sejarah Peradaban Islam (
Dirasah Islamiyah II ) ini berisi 15 BAB mengenai islam dan segala selu
beluknya adapun rincian dari bab – bab yang terkandung didalam buku ini yaitu
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
RIWAYAT HIDUP NABI MUHAMAD
BAB III MASA
KEMAJUAN ISLAM I
BAB IV MASA
DISINTEGRASAI
BAB V
ISLAM DI SPANYOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP.
RENAISANS DIEROPA
BAB VI MASA
KEMUNDURAN
BAB VII MASA TIGA
KERAJAAN BESAR
BAB VIII KEMUNDURAN TIGA
KERAJAAN BESAR
BAB IX
PENJAJAHAN BARAT ATAS DUNIA ISLAM DAN PERJUANGAN.
KEMERDEKAAN NEGARA –
NEGARA ISLAM
BAB X
KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
BAB XI KERAJAAN
– KERAJAAN ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN.
BELANDA
BAB XII KERAJAAN –
KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
BAB XIII ISLAM DI INDONESIA ZAMAN
MODEREN DAN KONTEMPORER
BAB XIV PUSAT – PUSAT PERDABAN
ISLAM
BAB XV PERADABAN ISLAM DI
INDONESIA
Itulah isi dari beberapa bab yang
ada di dalam buku ini, dan pada hakikatnya keseluruhan dari isinya menjelaskan
Sejarah Peradaban Islam dari awal bagaimana islam itu terbentuk yaitu dimulai
dari arab sebelum islam, ketika nabi muhamad belum dilahirkan hingga sampai
pada tahap perkembangan islam setelah masa nabi muhamad, kemudian diteruskan
sampai pada masa keemasan islam. Kemudian islam pun berkembang pada masa
sahabat, kemudian perluasan islam semakin luas pada masa kejayaan dinasti –
dinasti besar islam hingga terus sampai pada masa kemunduranya. Dan tidak hanya
sampai disitu saja perluasan islam mencapai puncaknya hingga masuk ke asia
tenggara.
Sebagai buku sejarah yang bercerita
tentang sejarah islam buku ini menceritakan banyak hal, sehingga banyak sekali
informasi yang didapat untuk menjelaskan sejarah perkembangan islam dimasa
kejayaanya dan dimasa kemunduranya, didalam buku ini pun termuat berbagai hal
komplit mengenai struktur pemerintahan, pengangkatan kepala Negara dan
pengakatan para gubernur serta berbagai cara dalam memperluas daerah kekusaan
islam semua tertuang dalam buku Sejarah Peradaban Islam ini sehingga semua hal
itu pada kenyataanya dapat dirasakan dampaknya hingga sampai saat sekarang ini.
Kelebihan Buku
Adapun kelebihan yang bisa
diungkap didalam buku Sejarah Peradaban islam ( Dirasah Islamiyah II ) karya
Dr. Yatim Badri, M.A ini yaitu
1. Buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah
II ) ini memberikan banyak sekali pengetahuan mengenai sejarah peradaban islam
dimulai dari riwayat hidup nabi muhamad, perkembangan islam dimasa dinasti –
dinasti kerajaan besar bahkan sampai peradaban islam di Indonesia. Semua
terangkum didalam buku kecil yang sederhana ini sehingga patut untuk dibaca
tidak hanya oleh para akademisi namun juga bagi siapapun yang ingin mengetahui
mengenai sejarah perdaban islam secra lebih lanjut
2. Selain itu bahasa yang digunakan didalam buku
Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ) bisa dibilang ringkas, mudah
dan sederhana sehingga mudah untuk dipahami oleh para pembaca melalui bahasa
yang lugas dan terstruktur seakan memberikan gambaran yang nyata dalam
mengembangkan iamajinasi pembaca seakan pembaca dapat merasakan bagaimana
sejarah peradaban islam tersebut benar benar melekat dan terjadi pada masa
perkembangan islam dimasa lalu
3. Disamping itu buku Sejarah Peradaban Islam (
Dirasah Islamiyah II ) ini juga memberikan banyak catatan kaki dan juga daftar
pustaka, tidak hanya dari penulis lokal tetapi juga para penulis luar, seperti
para penulis orientalis. Ini memberikan gambaran bahwa buku ini sebenarnya
berusaha untuk merangkum informasi dari banyak
sumber
4. Diakhir buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah
Islamiyah II ) ini Dr. Badri Yatim MA juga membuat glosarium sehingga
memudahkan pembaca dalam menemukan maksud dari kata - kata asing yang jarang
didengar yang termuat didalam buku ini sehingga pembaca menjadi lebih mudah
dalam memahami apa yang dimaksud oleh sang penulis sendiri
5. Sebagai buku yang memuat banyak hal mengenai
sejarah peradaban islam buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II )
ini berusaha memberikan ganbaran seobjektif mungkin tentang sejarah perdaban
islam tidak hanya dari sudut pandang tertentu saja tentang kebaikan – kebaikan
yang pernah dilakukan umat islam, namun juga didalam buku ini diungkap mengenai
sisi kelam lain masa lalu yang pernah dilakukan umat islam seperti perebutan
kekuasaan, perang saudara bahkan sampai pembantaian orang orang ataupun
kelompok tertentu. Semua terdapat didalam beberapa bab dibuku ini contohnya
seperti terdapat pada halaman 48 mengenai bagaimana runtuhnya dinasti umayyah
akibat perebuatan kekuasaan dan konflik atau halaman 107 mengenai bagaimana
islam mengalami kemunduran di spanyol
6. selain itu didalam buku ini termuat pula tentang
silsilah raja – raja dari dinasti dinasti yang berkuasa sehingga memudahkan
para pembaca dalam mengetahui silsilah keturunan para raja – raja twersebut
seperti termuat dalam halaman 116 mengenai silsilah penguasa dinasti ilkhan dan
pada halaman 146 mengenai silsilah penguasa kerajaan safawi
Kekurangan
Buku
Kekurangan yang sangat dirasakan
di dalam buku ini adalah proporsi untuk pembahasan periode moderen sejarah
dunia islam sangat kurang, dibandingkan dengan perode klasik dan periode
pertengahan. Hal itu dikarenakan :
- Pertama. Pembahasan hanya sampai pada masa kemerdekaan Negara – negara islam, jadi tidak termasuk perkembngan Negara – negara islam setelah merdeka
- Kedua. Pembahasan mengenai perjuangan kaum muslimin di dalam meneakkan Negara merdeka tidak rinci, karena banyak sekali Negara islam yang harus dipaparkan dalam buku kecil ini
- Ketiga. Oleh karena itu percaturan pemikiran politik dinegara Negara islam dalam rangka menegakkan ajaran islam dalam Negara modern juga tidak banyak diungkap
- Keempat. Lebih lanjut hal itu menyebabkan lembaga – lembaga keagamaan dan peradaban Negara islam dalam islam moderen tidak tersingkap
- Kelima adapun kelemahan lain yang bisa kita lihat yaitu di beberapa halaman seperti halaman 19 pada buku ini terdapat ayat ayat alquran yang hanya berupa terjemahan ayatnya saja sementara ayat alquran yang berbahasa arab sama sekali tidak ditulisakn oleh Badri Yatim ini merupakan kelemahan yang kecil, namun sebagai sebuah buku yang benafaskan agama islam alangkah baiknya apabila ayat alquran dituliskan secara lengkap besrta artinya.
Semua kekurangan itu memang tidak
mungkin disajikan dalam satu atau dua bab dalam buku ini. Dia membutuhkan buku
tersendiri. Namun , kekurangan itu akan bias dipahami apabila kita melhat bahwa
buku kecil ini memang hanya untuk pengajaran dirasah islamiyah yang disajikan
dalam satu semester. Sejarah islam yang sangat luas dan sangat panjang itu
terlalu banyak untuk dipelajari hanya dalam satu atau pun dua semester,
meskipun demikian sebagai sebuah buku pengantar dalam kajian sejarah perdaban
islam, buku ini cukup memadai, sekalipun tidak tertutup kemungkinan
adanya kekurangan dan kesalahan disana – sini.
Kesimpulan
Sudah jelas, dalam pembahasan buku
sejarah peradaban islam pada bab I dikatakan bahwa sebuah sejarah harus dilihat
siapa penulisnya dan bagaimana kondisi psikologisnya. Akan tetapi, sepertinya
Dr. Badri Yatim MA, melupakan hal ini. Secara teliti kia akan melihat ada
delapan catatan kaki yang diambil Dr. Badri Yatim MA dari beberapa penulis
barat/eropa/amerika.
Bagi kita, bahwa jelas mereka akan
meninggalkan satu atau dua bahkan lebih bukti sejarah yang membesarkan nama
islam. Hal ini mungkin saja mempengaruhi keabsahan dari dasar buku mereka.
Seharusnya, Dr. Badri Yatim MA, lebih teliti dalam memasukkan referensi dari
penulis barat.
Gaya penulisan oleh Dr. Badri
Yatim, MA, yang menggunakan metode narasi seakan-akan peresensi sedang membaca
novel klasik. Ini memudahkan peresensi dalam menganalisa dan memaknai setiap
maksud dan tujuan yang dituliskan oleh Dr. Badri Yatim,MA.
Secara maksimal, pembaca akan
menemukan makna yang ingin disampaikan oleh Dr. Badri Yatim,MA. Dalam penulisan
buku dirsah islamiyah II ini. Jadi, pembaca buku ini khususnya pada pembahasan
bab ini tidak melihat faktor usia dan golongan serta jenjang kependidikan para
pembaca. Para siswa SLTP, SLTA dan Mahasiswa bisa membaca dan menganalisa buku
sejarah peradaban islam ini dengan tiada menemukan kesulitan yang berarti.
BUKU KETIGA
Penulis
: Oman Fathurahman & Munawar Holil (eds.)
Judul : Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh
(Catalogue of Aceh
Manuscripts: Ali Hasjmy
Collection)
Penerbit : UIN Jakarta MANASSA (2007)
Penerbit : UIN Jakarta MANASSA (2007)
;
xvi + 303 halaman; foto; tabel.
Katalog ini mendeskripsikan koleksi naskah milik Yayasan
Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH), salah satu lembaga penyimpan
naskah-naskah Aceh yang selamat dari terjangan hebat gempa dan tsunami yang
melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Ali
Hasjmy (lahir di Lampaseh, Banda Aceh, 28 Maret 1914; meninggal di Banda Aceh,
18 Januari 1998) adalah mantan Gubernur Aceh (1957-1964) dan salah seorang
intelektual Aceh yang terkemuka. Beliau juga dikenal sebagai sastrawan,
budayawan, dan ulama (pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia/MUI Aceh).
Warisan kepustakaan beliau berupa naskah-naskah yang dideskripsikan dalam
katalog ini, buku-buku, dan benda budaya lainnya, sekarang dikelola oleh
Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (Ali Hasjmy Foundation)
di Banda Aceh.
Katalog ini mendeskripsikan 232 bundel naskah koleksi
YPAH yang mengandung 314 teks. Naskah-naskah tersebut dikumpulkan dari
masyarakat Aceh dalam rentang waktu antara 1992-1995. Sayang sekali, sejauh
yang dapat dikesan dari katalog ini, asal-muasal dan riwayat kepemilikan
naskah-naskah tersebut agak luput dari perhatian pengumpul ketika mengumpulkan
naskah-naskah tersebut. Sudah lama terdengar kritik bahwa dalam pengumpulan
berbagai artefak tradisi tulis klasik dan tradisi lisan Nusantara, banyak
kolektor abai mencatat konteks sosial dan kepemilikan artefak-artefak tersebut,
padahal aspek ini tak kalah pentingnya dari informasi mengenai aspek intrinsik
teks-teks itu sendiri.
Penyusunan katalog ini merupakan rangkaian dari proyek
konservasi dan digitalisasi naskah-naskah koleksi YPAH. Usaha ini diprakarsai
oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) dan Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
bekerjasama dengan Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies
(C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Jepang. Mengutip kata-kata
Prof. Dr. Edwin Wieringa, Guru Besar dalam bidang bahasa dan Sastra Indonesia
dan Pengkajian Islam di Universitas Cologne, Jerman, yang memberi pengantar
untuk katalog ini (hlm.v-vi), …pendokumentasian [ini] membantu untuk
melestarikan peninggalan sejarah [Aceh].
Naskah-naskah koleksi YPAH ditulis dalam tiga bahasa: 45%
bahasa Arab; 45% bahasa Melayu dan Arab; dan hanya 10% yang ditulis dalam
bahasa Aceh. Sebagian besarnya berisi teks keagamaan, yang merefleksikan
kuatnya keislaman masyarakat Aceh. Berdasarkan isinya, 7% dari koleksi naskah
YPAH berupa Al-Quran (23 teks) yang diberi kode Q; 2% (7 teks) berisi hadis
yang diberi kode HD; 2% (7 teks) berisi tafsir yang diberi kode TF; 13% (41
teks) berisi tauhid yang diberi kode TH; 24% (74 teks) berisi fikih yang diberi
kode FK; 15% (47 teks) berisi tasauf yang diberi kode TS; 16% (50 teks) berisi
tatabahasa yang diberi kode TB; 7% (22 teks) berisi zikir dan doa yang diberi
kode ZD; 5% (15 teks) berisi hikayat yang diberi kode HK; dan 9% (28 teks)
mengandung lain-lain topik yang diberi kode LL (hlm.viii). Katalog ini disusun
mengikut urutan kandungan isi teks di atas.
Penyusunan katalog ini memakai sistem penomoran baru,
tapi tetap menginformasikan kode naskah yang lama. Judul setiap teks ditulis
dalam huruf kapital yang dihitamkan dan ditaruh dalam tanda kurung siku. Setiap
deskripsi teks didahului oleh kolom-kolom yang berisi penjelasan tentang judul
teks, kode naskah baru, kode naskah lama, bahasa yang digunakan, jumlah
halaman, jenis kertas yang digunakan [termasuk capnya], bentuk teks, ukuran
naskah [...], serta jumlah baris rata-rata per halaman. (hlm.ix). Pada
teks-teks tertentu yang memiliki kolofon, informasi itu dilengkapi dengan
keterangan tentang pengarang, penyalin, dan tarikh selesainya penyalinan.
Penyusun menginformasikan keterangan fisik naskah, ringkasan isi, dan
keterangan tambahan. Dalam ringkasan isi kadang kadang dikutip bagian dari tulisan
teks yang ditaruh dalam tanda petik dan dicetak miring. Dan dalam kasus
kutipan-kutipan yang berbahasa Arab, penyusun menyediakan terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia.
Keadaan fisik naskah-naskah dalam koleksi ini berkisar
antara baik, kurang baik, dan rusak. Namun, tidak ada kriteria yang jelas untuk
masing-masing istilah itu. Dalam hal ini saya setuju dengan apa yang dikatakan
Dick van der Meij dalam resensinya terhadap katalog ini dan beberapa katalog
sejenis lainnya dalam Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 164.2/3 (2008) bahwa
istilah-istilah tersebut subjektif dan sangat tergantung kepada perasaan (mood)
si penyusun. (Dalam katalog-katalog lainnya terdapat variasi penyebutan kondisi
fisik naskah ini, seperti cukup baik, mulai rusak, sangat buruk, rusak berat,
masih bagus, dan masih baik).
Beberapa teks dilengkapi dengan reproduksi foto naskah
aslinya. Terdapat 33 foto naskah dalam katalog ini. Sayangnya, caption
setiap foto tidak menginformasikan halaman naskah yang dipotret. Pada lampiran terdapat
tambahan empat foto lagi yang memuat potret Ali Hasjmi dalam bentuk lukisan
serta beberapa jepretan bagian interior dan eksterior Yayasan Pendidikan dan
Museum Ali Hasjmi di Jalan Jendral Sudirman No 20/28 Lamtemen, Banda Aceh
(hlm.295-96).
Deskripsi masing-masing teks (fisik maupun non fisik)
dalam katalog ini lebih kaya daripada deskripsi teks dalam dua katalog
terdahulu terbitan C-DATS (Katalog Naskah Palembang
(2004) dan Katalogus Manuskrip dan Skriptorium
Minangkabau (2006)). Dalam katalog ini penyusun juga mencantumkan
rujukan silang dalam keterangan tambahan beberapa naskah yang sebelumnya sudah
pernah diteliti orang. Artikel Jajat Burhanudin Naskah dan Tradisi
Intelektual-keagamaan di Aceh yang dimuat dalam katalog ini (hlm.1-6) sangat
bermanfaat bagi pembaca untuk memperoleh gambaran historis mengenai tradisi
keberaksaraan orang Aceh di masa lampau serta peran dan eksistensi naskah dalam
kehidupan orang Aceh yang sangat dipengaruhi oleh agama Islam.
Penerbitan katalog ini jelas sangat bermanfaat untuk
membuka akses bagi khalayak yang lebih luas untuk mengetahui kekayaan koleksi
naskah YPAH. Usaha dua orang akademisi muda asal SundaDr. Oman Fathurahman dan
Drs. Munawar Holil, M.Hum.menyusun katalog ini patut dihargai. Sekarang Dr. Oman
bersama rekan-rekan peminat dan pemerhati sastra klasik, bekerjasama dengan
rekan-rekan mereka di Aceh, melanjutkan usaha penyelamatan naskah-naskah Aceh
yang tersimpan di Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh Besar. Pembangunan gedung
baru untuk penyimpanan koleksi naskah Dayah Tanoh Abee sedang dilaksanakan
dengan bantuan biaya dari Prins Klaus Fund dari Belanda (2006).
Tahap
selanjutnya adalah restorasi, digitalisasi, dan katalogisasi naskah-naskah
koleksi Dayah Tanoh Abee di bawah payung proyek untuk Aceh di Tokyo University
of Foreign Studies (TUFS) yang sedang berjalan. Berdasarkan pengalaman di
daerah lainnya di Indonesia, tahap ini cukup sulit untuk dilewati karena misi
akademis berhadapan dengan keyakinan tradisional dan eksklusivisme kedaerahan
yang sering dibikin sensitif oleh isu-isu perdagangan ilegal national heritages
Indonesia ke negara lain Tak sedikit pula yang menangguk di air keruh untuk
kepentingan politik sesaat.
Usaha restorasi, digitalisasi, dan katalogisasi koleksi
naskah Dayah Tanoh Abee pun tak lepas dari isu ini, seperti terefleksi dalam
kecurigaan seorang Aceh bernama Kamaruzzaman Bastaman-Ahmad terhdap Dr. Oman
Fathurahman (lihat debat antara keduanya facebook Dr. Oman Fathurahman:;
dikunjungi 1-2-2009). Kiranya katalog ini cukup untuk memberi keyakinan kepada
kita bahwa kerja pernaskahan yang dilakukan Dr. Oman di Aceh semata-mata adalah
sebuah misi akademis dalam rangka menyelamatkan khazanah manuskrip Aceh.
Dalam usaha penyelamatan dan penelitian naskah-naskah
Indonesia di berbagai daerah, seluruh stakeholder yang ada, khususnya
kalangan akademisibaik di pusat maupun daerahsemestinya dapat saling
bekerjasama dengan baik. Mereka harus mampu mengambil jarak dari hingar-bingar
dunia politik kita yang tak berkeruncingan ini.
No comments:
Post a Comment