Saturday 27 December 2014

RESENSI BUKU Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang



RESENSI BUKU

BUKU PERTAMA

Judul       : Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-   
                 Naskah Palembang  
Penulis     :  Achadiati Ikram 
Penerbit    : Wedatama Widya Sastra 
Tahun       : 2014

       
         Salah satu keistimewaan Palembang sebagai tempat penemuan bukti-bukti arkeologi ialah adanya suatu kesinambungan dari segi penanggalan. Hal ini menandakan bahwa Palembang memiliki masa okupasi yang panjang dan bersinambung, sehingga di satu tempat seringkah ditemukan data-data sejarah dari zaman yang berbeda-beda. Meskipun banyak tulisan dari zaman Sriwijaya diperkirakan hilang, bukanlah berarti bahwa sastranya mati setelah wilayah Palembang menjadi bawahan Majapahit Dari naskah yang sempat sampai di tangan kita dapat diperkirakan bahwa terjadi pengalihan sastra Jawa ke sastra Melayu. Sastra Jawa Kuna dan Tengahan antara lain sastra Panji dan Mahabharata, dua kumpulan cerita yang mengalami popularitas tinggi di Jawa, di alam Melayu persebarannya meluas sampai ke semenanjung Malaka. Setelah masa penguasaan Cina, menurut tradisi lisan, Ki Gede Ing Suro mendirikan kerajaan yang dinamakan Palembang. Dikisahkan bahwa pendiri kerajaan ini. berasal dari daerah pesisir utara Jawa. Nama Palembang sebagai kerajaan disebut dalam naskah Sejarah. Melayu yang dipastikan dikarang sebelum tahun 1536.
          Ada beberapa tempat di Nusantara yang dipandang sebagai pusat sastra Melayu, misalnya Riau, Jakarta, dan Palembang. Abad ke-19 merupakan masa keemasan penyalinan naskah Melayu. Waktu itu, Riau, khususnya Pulau Penyengat, merupakan pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan Melayu. Kegiatan menulis dan mengarang dilakukan di Istana Pulau Penyengat oleh kerabat istana, seperti Engku Haji Ahmad dan anaknya, Raja Ali Haji, yang terkenal dengan karyanya Gurindam Dua Belas.
Selain kalangan istana, pemerintah kolonial juga merupakan pemrakarsa penyalinan naskah di Riau. Beberapa nama pejabat Belanda yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah Von de Wall, Klinkert, C.P.C. Elout. Penyalinan naskah itu dilakukan untuk kepentingan pribadi dan pemerintah kolonial. Beberapa juru tulis yang bekerja di situ antara lain Haji Ibrahim, Encik Ismail, dan Encik Said.
         Jakarta atau Betawi – tempo dulu – dikenal juga sebagai tempat penyalinan. Salah satu contoh tempat penyalinan adalah kantor pemerintah kolonial Belanda Algemeene Secretarie yang terletak di Rijswijk (jalan Veteran). Di tempat itu para juru tulis pribumi, seperti Muhamad Cing Saidullah, Muhamad Sulaiman, dan Abdul Hakim, menyalin naskah atas pesanan Belanda sebagai bahan pendidikan.
Di samping itu, tempat penyalinan dan persewaan naskah juga tersebar di kampung-kampung seperti Krukut, Pecenongan-gang Langgar Tinggi, Pasiwaran, Kampung Jawa, dan Kampung Bali. Salah satu penyalin yang juga pengarang adalah Muhamad Bakir, yang memiliki koleksi naskah yang banyak. Ia mencari nafkah dari naskah-naskahnya yang disewakan.
Palembang juga tercatat memiliki warisan budaya berupa naskah-naskah yang berasal dari Keraton Palembang dan milik perorangan. Tulisan ini memaparkan selintas tradisi penyalinan naskah di Palembang, mulai dari latar belakang sejarah daerah Palembang, penyalinan naskah Melayu di Palembang, hingga selintas informasi mengenai muatan naskah.
Latar Belakang Sejarah Palembang dan Kaitannya dengan Penyalinan Naskah Melayu. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahar`uddin tahun 1775 – 1804, keadaan perekonomian di Palembang baik karena ditopang oleh tambang timah dari Pulau Bangka dan ekspor lada. Situasi inilah yang membuat pelabuhan Palembang dilirik oleh para pedagang dari negeri lain seperti Arab dan Cina. Oleh karena Aceh telah memudar dari segi ekonomi, para pedagang mencari kemungkinan tempat lain, yaitu di Palembang (lihat Peeters 1997: 5-31 dan Van Sevenhoven 1823: 75 ).
Kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut membawa perubahan kehidupan sosial-budaya bagi masyarakat Palembang. Kedekatan sultan dengan orang-orang Arab sebagai mitra dagang menyebabkan mereka mendapat perlakuan yang khusus. Itulah sebabnya, makin lama jumlah mereka membengkak. Pendatang dari Hadramaut itu tinggal berkelompok di kampung-kampung Ulu dan Ilir Sungai Musi. Perkawinan orang-orang Arab dengan penduduk setempat ataupun kerabat keraton pun tidak terhindarkan.
Di antara orang Arab, yang menonjol adalah al-Munawar, yang tinggal di 13 Ulu; Assegaf di 16 Ulu; dan al-Mesawa di 14 Ulu. Di samping itu, mereka juga memiliki markas besar al-Habsyi di 8 Ilir; Barakah di 7 Ulu; al-Jufri di 15 Ulu; serta Alkaf di 8 Ilir dan 10 Ulu. Pada paruh kedua abad ke-19 mereka menjadi kelompok elite Arab di Palembang. Masyarakat Arab di sana kebanyakan anggota Ba`alawi, yang menelusuri garis keturunan mereka dari Nabi Muhammad melalui cucunya, Husain. Kedudukan para Alawiyin, dengan sapaan sayid, dipandang tinggi dalam masyarakat Palembang dan juga sebagai orang yang suci. Para saudagar Arab dan sayid itulah yang mempunyai pengaruh besar dalam proses pengislaman masyarakat Palembang, di samping Sultan Palembang sendiri. Agama Islam tampaknya mempunyai kedudukan penting dan erat berhubungan dengan Keraton Palembang yang menganut budaya Jawa. Ini terlihat pada birokrasi agama di lingkungan istana pada masa kesultanan; para pejabat itu berasal dari keluarga sultan dengan gelar Pangeran Penghulu Nata Agama. Waktu itu, Masjid Agung yang terletak di belakang Keraton adalah satu-satunya masjid di Palembang, yang didirikan di atas tanah wakaf Sultan Palembang. Ketika ada upacara keagamaan, para pangeran itulah yang bertanggung jawab atas segala pelaksanaannya. Situasi menjadi berubah ketika tahun 1821 terjadi perebutan Keraton Palembang oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat itu, secara berangsur-angsur peran sultan dan para bangsawan merosot, karena Keraton pun ikut dilenyapkan, dan pemerintah kolonial kemudian yang mengambil alih kekuasaan. Berkaitan dengan kegiatan penyalinan naskah, dapat dibuktikan bahwa Keraton Palembang juga menghasikan naskah-naskah yang penulisannya atas perintah sultan, dan ada yang dikarang oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Perpustakaan di lingkungan Keraton menyimpan beragam naskah. Keruntuhan Keraton Palembang menyebabkan naskah tercerai-berai, jatuh ke tangan berbagai kalangan masyarakat (lihat Woelders 1975, Drewes 1977, dan Iskandar 1986).
Gaya kehidupan para sayid semakin eksklusif setelah terjadi pergantian kekuasaan. Antara lain mereka memesan buku-buku dari Mesir, Istanbul, Irak, dan memiliki naskah bahasa Arab, Parsi, dan Melayu. Kualitas perekonomian semakin meningkat sehingga para saudagar yang kaya tidak segan-segan memberikan modal dagang kepada penduduk setempat asalkan mau memeluk agama Islam. Untuk menunjang kegiatan pelajaran agama mereka mendirikan masjid-masjid di sekitar perkampungan Arab tempat kediamannya (Peeters 1997: 17-18).
Pengarang, Penyalin, dan Tempat Penyalinan Naskah
Adanya keragaman budaya Palembang bercampur dengan Jawa, Arab, Cina, serta adanya lapisan sosial kelompok bangsawan dan masyarakat biasa itulah yang mewarnai kehidupan sosial penduduk Palembang. Hal itu tercermin dari naskah-naskah yang masih dapat diselamatkan, baik yang berasal dari lingkungan Keraton, perkampungan Arab, maupun penduduk setempat. Sebagian naskah dari Keraton kini ada yang disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Hikayat Martalaya (PN Ml. 5), yang isinya bersifat sejarah, adalah karangan Sultan Mahmud Badaruddin; Syair Nuri (PN Ml. 8) juga gubahan Sultan Mahmud Badaruddin. Adik Sultan Mahmud Badaruddin, yaitu Panembahan Bupati, menggubah Syair Patut Delapan (PN Ml. 9) dan Syair Kembang Air Mawar (PN Ml. 10) (Iskandar 1996: 432— 433). Kolofon yang berbentuk syair pada naskah Khawwaasu al-Qur`aan (PN Ml. 75) demikian bunyinya (Sutyani 2000),
Sahibul kitab paduka seri sultan
Ratu Ahmad Najamudin al-Sultan
Mahmud Badarudin Palimbani
yang termashur beroleh, kesempurnaan
Zamannya yang duduk di atas kerajaan
negeri Palembang sudah berapa zaman
dengan karenanya Tuhan malikul iman
menjadilah negeri beroleh aman
Daripada banyak berbuat yang ihsan
memberi manfaat pada segala insan
menjadi pada beroleh kesukaan
bertambah berkait khasyiat Alquran
Dikarena itulah kerajaan ini
menyuruh hamba menyurat kitab ini
yang bernama kitab Khawwaasu Qur`aan
kepada Kiai Kemas Fakhrudin
Pada naskah Kitab Mukhtasar (PN Ml. 120), ada pernyataan bahwa yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu adalah Kemas Fakhrudin yang tinggal di Palembang Darussalam.
Kolofon naskah Seribu Masa`il (PN Ml. 667 dad W. 8) menjelaskan demikian, "Hikayat kitab seribu masalah di dalamnya ini yang punya saya Kiagus Muhammad Mizan ibnu al-Faqir al-`aqiir ilaa Allaah Ta`aalaa Kiagus Haji Khatib Thaha fii balad Palembang Kampung Surah 30 Ilir adanya." Selain sebagai pemilik, nama tersebut juga yang menyurat Seribu Masa`il.
Yang berkaitan dengan penyebaran tarikat di Palembang adalah Hikayat Manaaqib Muhammad Sammaan (PN Ml. 828), yang pada akhir teksnya terdapat pernyataan bahwa yang menghimpun risalat itu adalah Muhammad bin Ahmad Kemas di Palembang. Naskah lainnya adalah `Ariiqah yang Dibangsakan kepada Qaadiriyyah dan Naqsyabandiyyah (PN Ml. 149), yang di dalamnya terselip kertas yang menjelaskan bahwa pengarangnya adalah Ahmad bin Khatib Abdul Ghaffar dan penyalinnya adalah Muhammad Ma`ruf bin Abdullah Khatib Palembang.
Dalam Sejarah Pasemah (PN Ml. 234) terdapat catatan yang menyatakan bahwa, "Salinan dari buku orang yang menjadikan jagat Pasemah dari kitab orang Tanah Pilih marga Sumbai Ulu Lura Benua Keling yaitu Pangeran nama Somadil Dusun Tanah Pilih disalin oleh saya Muhammad Taijib magang di kantor Bandar Pasemah 25 Januari 1882."
Kemudian juga ada catatan pada akhir naskah, "Menyalin ini buku pada 20 November 1898 yang punya saya Muhammad Arip." Tampaknya naskah ini telah disalin kembali setelah tahun 1882, dan mungkin pula berganti pemilik.
Naskah Koleksi Perorangan
Beragam naskah Palembang yang diuraikan di atas disimpan dengan baik di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Oleh karena itulah, kita dapat memperoleh gambaran mengenai skriptorium Melayu di Palembang, yang terpencar mulai dari lingkungan Keraton sampai ke perkampungan Ulu dan Ilir. Pembicaraan yang terakhir adalah tentang naskah-naskah koleksi perorangan yang keadaannya banyak yang sudah rusak. Untuk merawatnya, diperlukan pengetahuan dan dana yang cukup banyak. Informasi ini diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh tim Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa), dibantu oleh anggota masyarakat Palembang sendiri pada tahun 2003, yang membuktikan adanya ratusan naskah yang masih tersebar di perkampungan Palembang.
Dari koleksi naskah keturunan Sultan Mahmud Badaruddin, yaitu Raden Haji Muhammad Syafei Prabu Diraja, yang sekarang bergelar Sultan Mahmud Badaruddin III, antara lain adalah naskah Rukun Islam (MSPN 32). Pada bagian awal naskah tersebut terdapat catatan, "Alamat kitab Sri Paduka Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin ibn Sri Paduka Sultan Muhammad Bahauddin fi balad Palembang Dar as-Salam, amin." Pada bagian bawah tertulis, "Disuratnya Kiai penghulu orang mta-r-d-r.” Pada halaman akhir terdapat catatan, "Sanah 1281 sehari bulan Rajab pada malam Ahad jam pukul sembilan masa itulah zahir Sri Paduka Susuhunan Mahmud Badaruddin. Sanah 1264 pada empat betas hari bulan Safar hari Jumat pada bulan terbit matahari masa itulah dapat Sri Paduka Susuhunan Mahmud."
Ada pula teks Hikayat Syekh Saman (MSPN 5) yang disalin di Palembang pada hari Kamis, Jumadil Akhir 1301 H (Maret 1883 M). Di dalam MSPN 5 juga terdapat teks Doa Tawasul berbahasa Arab.
Naskah lainnya adalah Sifat Dua Puluh (MSPN 13) yang ditulis pada 1326 H, hari Rabu, pukul 08.00, yang juga menyertakan catatan nama dan alamat, yaitu Rd. Abdullah bin Rd. Muhammad Yasin bin Rd Mahmuddin, Kampung 28 Ilir, Palembang.
Cap milik Sultan Badaruddin (MSPN 2) yang dibuat dari logam kuningan masih tersimpan dengan baik bertuliskan, "Khaliifatu al-mu`miniin Susuhunan Ratu Muhammad Badaruddin ibn Sultan Muhammad Bahauddin fii balad Palembang Dar as-Salam, Hijrat Nabi Sallaa Allaahu `alaihi wa sallam alf wa mi`atain arba`in wa falaafin sanah 8642."
Naskah Surat Tarasul (MSPN 27) pada bagian awal memuat catatan, "Ini Surat Tarasul yang empunya Tuan Haji Mahmud bin Haji Abdul Muhammad." Kemudian terdapat catatan di bagian akhir bahwa naskah ini telah diberikan kepada Raden Prabu Zainuddin Abdul Habib Palembang. Akan tetapi, sebenarnya naskah ini disalin tidak di Palembang, yang tertandai dari bunyi kolofonnya, "Surat ini di dalam Bandar Negeri Singapura Kampung Sumbawa di belakang masjid Encik Fatimah Riau, wa katabahu al-faqiir ila Allaahi Ta`aalaa al-Jaawii al-Palimbanii yafisyahu Allaahu Ta`aalaa flu ad-diin gamin yaa Rabb al-aalamiin bitaarikh 1274 tahun 1857."
Kebiasaan menulis catatan harian di lingkungan kesultanan merupakan hal yang menarik sebagaimana yang terlihat dari Catatan Harian (MSPN 3), yang di dalamnya tertulis catatan,
Ini milik Raden Syarif bin Paduka Raden Haji Abdullah Habib bin Martina, Paduka Syarif ibn Haji Prabudari tujuh Abdullah bin marhum Sri Paduka Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin ibn marhum Sri Paduka Sultan Mahmud Bahauddin ibn marhum Sri Paduka Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin ibn marhum Sri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin ibn marhun Sri Paduka Sultan Mahmud Mansur ibn marhum Sri Paduka Sultan Susuhunan Abdurrahman sekalian mereka itu di atas tahta kerajaan di dalam negeri Palembang.
Kegiatan para raden, yang dimulai dengan kelahiran atau perjalanan ke tempat lain seperti Gresik, dicatat dengan hari dan tanggalnya. Catatan harian milik Raden Haji Abdul Habib (MSPN 4), keturunan Sultan Mahmud Badaruddin, ada yang ditulis di Singapura, yang isinya antara lain memuat waktu kelahiran, kematian, dan tempat kubur Raden Ayu Zubaedah. Penanggalan dalam naskah catatan harian Raden Abdul Habib bertahun 1860. Akan tetapi, tampaknya ada kesinambungan dalam penyalinan naskah berupa catatan harian sesudah abad ke-19, yang terlihat pada naskah Catatan Perkawinan (AS 7): peristiwa perkawinan di Palembang yang berkisar tahun 1951 -1953 dicatat di dalamnya. Naskah ini berisikan daftar orang yang dinikahkan oleh Kemas Haji Ismail Umari, di Kampung 19 Ilir, Palembang, pemilik catatan ini. Naskah yang tanpa tahun, tetapi di dalamnya tercatat peristiwa pada tahun 1900-an, adalah Catatan Perjalanan ke Gunung Tangkuban Perahu (RMA 6), yang berisikan perjalanan anak-anak sekolah sewaktu libur dari Bandung ke Lembang menuju ke gunung.
Alquran yang beriluminasi tinta emas bervariasi tinta merah dan biru serta hiasan motif bunga dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional (MSPN 2). Di dalamnya terdapat dua catatan. Catatan yang pertama menjelaskan, "Ini Paduka Pangeran Bupati bin Paduka Susuhunan Mahmud Badaruddin fi Palembang." Catatan yang kedua menjelaskan, "Sudah diberikan Paduka Pangeran Prabu ...kepada anaknya Raden Abdul al Habib masa di Ternate."
Pemilik naskah lain yang juga kerabat sultan adalah R.M.H. Akib (alm.). Naskah koleksinya ada yang berupa Surat Sultan Badaruddin II (RMA 4) Yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Raad van Indie. Isi surat menyatakan bahwa Sultan telah mengirimkan 150 pikul lada hitam, 20 pikul lada putih, 40 pikul timah putih, dua pikul lilin, 2000 pikul gambir, dua kepala gading, papan embelu 4 keping, sepasang tikar rotan, 2 keping papan embelu, tongkat torat berkepala emas. Tanggal yang dimuat dalam surat itu adalah "Palembang, 13 bulan Rabiul Awal, hari Arba`a pukul lima tarikh as-sanat 1224".
K.M.S. H. Andi Syarifuddin memiliki Perpustakaan Umariyah, yang terletak di kawasan 11, samping masjid Sultan, 19 Ilir, Palembang. Rumah itu dulu milik kakeknya; ia mewarisi naskah-naskah dari kakeknya. Koleksi naskahnya cukup banyak, umumnya teks keagamaan dan surat. Kakeknya bernama Tuan Guru Kemas Haji Umar; kerabat Sultan ini juga seorang khatib dan qadi.
Naskah Kitab Maulid Syaraf Al-Anaam (AS 2) ada dua di perpustakaan itu. Teks pertama disalin oleh Lanang bin Abdul Majid, di 37 Ilir Palembang, pada tahun 1269 H atau 1852 M. Naskah yang kedua (AS 23) disalin oleh Haji Zen Bangsawan di Kampung 15 Ilir, Palembang, tanpa tahun. Naskah ini dijilid dengan kulit binatang; naskah dengan sampul yang mahal seperti ini biasanya berasal dari lingkungan keraton.
Kebiasaan menulis surat dengan tulisan Arab dan berbahasa Arab atau Melayu tampaknya banyak dilakukan oleh masyarakat Palembang. Selain surat-surat Sultan, juga ditemukan surat-surat penduduk kampung yang isinya bersifat kekeluargaan. Banyak surat dikirim dari Mekah ke Palembang atau, sebaliknya, dari Palembang ke Mekah. Pengirim surat dari Mekah ada yang sedang menunaikan ibadah haji atau sedang menuntut ilmu di sana. Sebagai contoh adalah naskah surat Kemas Haji Umar bin Kemas Haji Abdurrahman di 19 Ilir, Palembang (AS 3). Surat itu ditujukan kepada Haji Abdul Hamid bin Haji Muhammad Yasin di Mekah. Isinya menyatakan bahwa ia minta didoakan dari tempat-tempat suci yang mustajab di Mekah dan ia memberitahukan telah mengirimkan uang untuk membeli sapi atau kambing sebagai aqiqah.
Surat dari Ahmad Badruddin dan kawan-kawan (AS 5) untuk Tuan Guru Kemas Haji Umar, 19 Ilir, Palembang, isinya mengabarkan bahwa mereka telah sampai di Mekah dengan selamat dan mengucapkan selamat berkenaan datangnya bulan Ramadan yang penuh berkah.
Waktu penulisan surat terlihat ada yang dari tahun 1831, 1835, 1836, 1843, tetapi ada pula surat yang ditulis pada tahun 1931, yaitu naskah Surat Abdullah Amin (AS 10), yang penulisnya sedang belajar di Mekah dan mengirimkan surat kepada Tuan Guru Haji Kemas Amir, di Kampung Wara Ilir, Palembang. Isinya sekedar memberi kabar selamat. Fakta ini memperlihatkan bahwa tampaknya kegiatan penyalinan naskah masih berlanjut sampai abad ke-20.
Dalam Syair Inu Kertapati (AS 4) terdapat catatan yang menyebutkan nama-nama pemilik naskah itu demikian, "Ini sair yang empunya Nyimas Fatima binti Kemas Haji Amak istri Kiagus Haji Ung yang Kampung 19 Ilir yang empunya ini syair Najamudin."
Masih dari Kampung 19 Ilir, dalam naskah Matnu Ad-Daurah (AS 11) kolofonnya demikian, "Ditulis pada empat hari bulan Jumadil Akhir hari Isnin jam dua tahun 1293 Hijriyah katabahu al-faqir Ki Agus Haji Abd al-Shamad bin Ki Agus Haji Shadar yang ditulis di Kampung 19 Ilir."
Dalam naskah cetak (AS 55) yang berjudul Syair Perang Menteng 1819-1821 terdapat satu teks lain, yaitu Syair Siti Haris Fadilah. Naskah ini berasal dari lingkungan istana, seperti terlihat dari sampulnya yang terbuat dari kulit bermotifkan sulur. Kolofon dari naskah ini menarik, karena di dalamnya diperinci waktu, tempat dan orang yang terlibat dalam pencetakan naskah itu, "Setelah khatamlah Syair Haris Fadilah dicap di atas batu di dalam bandar negeri Singapura, daerah Kampung Gelam, di rumah sewa Imam Fakir Abdul Jalil kepada dua Jumadil Akhir hari Jumat jam pukul tiga petang dewasa itulah. Tamatnya sanat 1283 yang empunya cap Encik Lung tukang buku, yang menyuratnya Tengku Raden Ali bin Tengku Raden Muhammad, yang mengecapnya Encik Abdurrachman bin Abdussamad adanya. Tamat."
Pemilik naskah lain adalah yang berasal dari perkampungan Arab, sehingga bukan hal yang mustahil bila di tempat ini juga ada kegiatan penyalinan naskah. Seperti diuraikan dalam latar belakang pada bagian awal, mereka mendirikan masjid di sekitar tempat kediaman, selain untuk beribadah juga untuk kegiatan belajar agama. Banyak pengarang dari Palembang yang menghasilkan naskah keagamaan, seperti Abdussamad al-Palembani, Syihabuddin, Muhammad Muhyiddin, dan Kemas Fakhruddin. Masa kejayaan orang-orang Arab di Palembang yang sukses di bidang perdagangan sudah berlalu. Kini rumah-rumah di perkampungan Arab tampak tidak terlalu terawat dan umumnya pemilik naskah sudah tua. Naskah pun juga banyak yang sudah rusak.
Di samping yang telah disebut di atas, terdapat pula beberapa nama lain, yaitu Said Alwi Assegaf di Lorong BBC 12 Ulu, Alwi Habib Baasin, Haji Ahmad Fauzi di 5 Ulu Laut 415, Alwi bin Ahmad Ba`asin, keluarganya mendirikan Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Darul Aitam.
Habib Ahmad Al-Habsyi (alm.), yang tinggal di lorong BBC 12 Ulu, mewariskan naskahnya pada cucunya, Said Alwi Assegaf. Koleksi naskah keagamaan itu dulu dipakai oleh orang-orang yang berkumpul di rumahnya untuk memperdalam agama. Naskah Ilmu Fikih memiliki ketebalan 400 halaman, berbahasa Arab dan Melayu. Lembar halaman depan bertanggal 1278 merupakan milik Ali bin Umar Syekh bin Hasan bin Abdurrahman al-Habsyi, dan penulisnya adalah Muhammad Arsyad dari Banjar (Muhammad Arsyad al-Banjari). Sampul naskah ini terbuat dari kulit bertatahkan emas dan berpenutup (flap). Kolofonnya demikian, "Inilah kitab al-faqir ilaa Allaahi Ta`aalaa sayyidu asy-syarii fi Umar ibnaina al-marsuumi as-Sayyidi asy-Syariifi Sayaikhi bin Hasan bin "Abdi ar-Rahmaani al-Habsyi al-`Alawii `afaa Allahu `anhum aamina. Tamma."
Ilmu al-Faraid (AAB 9) adalah salah satu naskah berbahasa Arab milik Alwi bin Ahmad Ba`asin atau biasa disebut Mualim Nang, yang kini diwarisi oleh Ali bin Ahmad. Kepemilikan naskah ini mengalami pergantian sebagaimana yang terlihat pada tulisan pada halaman awal. Naskah ini pada mulanya dimiliki oleh Abdullah bin Hasan al-Habsyi, di situ tertera capnya. Kemudian naskah pindah ke tangan Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurahman al-Munawar al-Segaf pada tanggal 18 Rabi`ul Awwal 1274 H (Oktober 1857).
Naskah Bunga Rampai Kehidupan Beragama (RP 7) berbahasa Arab dan berisikan tiga teks. Teks yang pertama berisikan cara mengatasi persoalan dalam pengalaman agama, selesai ditulis oleh Muhammad Azhari al-Jawi pada tanggal 24 Rajab tahun 1240 H. Teks yang kedua mengenai cara mengatasi persoalan hidup, selesai ditulis pada hari Sabtu, 19 Zulhijah tahun 1250 H, oleh Abdullah bin Muhammad Saleh. Teks yang ketiga memuat pokok-pokok agama sebagai landasan hidup, ditulis pada hari Senin bulan Rajab 1252 H.
Dari koleksi naskah Nyimas Laili Yulita, putri sulutig Nyimas Ayu, yang memperoleh naskah dari neneknya, Hajah Siti Hawa (83 tahun), terdapat naskah Ma`na Maulud (NLY 3). Pada halaman depan naskah tertulis bahwa kitab ini dinamakan kitab Ma`na Maulud, yang dimiliki oleh Nyai Kampung Dua Pulu Delapan Air Ilir, Sungai Tawar.
koleksi Muhammad Jufri Cek Jon (MJ 6), yang dicetak di Bombay, dikenal di Palembang. Hikayat Puteri Johar Manikam, demikian judulnya sebagai bentuk prosa, disalin di Jakarta oleh Muhammad Cing Saidullah, juru tulis Melayu yang bekerja untuk pemerintah Belanda.
Museum Balaputra Dewa juga menyimpan naskah-naskah Melayu, antara lain ada yang berupa syair, yaitu Syair Jaya Sempurna (BD 5). Kolofon pada halaman pertama adalah sebagai berikut, "Dikarang oleh Abu Bakar al-Kaf tiada diberikan seorang pun mengecapi atau mengurangi atau menambahi melainkan dengan izin pengarangnya. Cetak yang kedua 1341 oleh Hudaba`at al-Sidi Ali al-Samawi, Pasar Serta Palembang."
Pada awal teks tertulis seperti ini, "Ini syair bernama Jaya Sempurna dikarang oleh B bin J. Mudah-mudahan diampuni Allah bagi pengarangnya dan ayah-bundanya bagi yang membacanya, dan mendengarnya, dan yang suka padanya. Tamma."
Kesimpulan
Penelitian sanggar penyalinan dapat mengungkapkan sejarah penyalinan naskah Melayu yang hidup di Palembang pada masa yang lampau. Selain itu, melalui penelitian ini juga dapat dilihat keterkaitan antara tradisi lisan dan tulis. Sebagai contoh, Syair Johan Malikan pada masa kini juga dikisahkan dalam pentas ketoprak humor di televisi dengan nama Putri Johar Manik.
Awal naskah cerita Pak Belalang memuat pernyataan dari Haji Ibrahim penyalinnya sebagai berikut-sebelumnya cerita itu adalah cerita lisan yang belum pernah ditulis.
"Make inilah bidal Melayu yang diambil ibarat dari nama bapak si Belalang... maka cerita ini belum seorang pun yang menyuratkan maka hal keadaannya amat masyhur di tanah Melayu, di dalam Riau dan Lingga… maka sekarang sangat maksud seorang sahabatku paduka Tuan Von de Wall yang mencari dengan bersungguh-sungguh akan bahasa Melayu yang terus apalagi yang dibuat bidal…. dalam bahasa Melayu... pada masanya di negri Johor dan Pahang, Riau dan Lingga. Maka dengan sebab itu aku suratkan, maka hal kendaanku bukan ahli sekali-sekali membuat hikayat…”
Kisah Pak Belalang kini juga ada yang berbentuk CD dengan judul Nujum Pak Belalang, di bawah lisensi SV Production SDN, BHD. Jadi, selama masih ada masyarakat pendukungnya, karya sastra lama masih tetap ada.

BUKU KEDUA
Nama Pengarang          : Dr. Badri Yatim Badri, M.A
Judul Buku                   : Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II )
Tahun Terbit                 : 2006
Tempat Terbit               : Jakarta
Tebal Buku                   : XIV + 338 Halaman
Penerbit                        : PT Raja Grafindo Persada
ISBN                            : 979 – 421 – 337 – 3


Sebuah buku yang berupa karangan ilmiah yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim,MA ini membahas sejarah peradaban islam yang tersistematis dan aktual. Hal ini dikarenakan hasil dari penelitian yang lebih dari 10 tahunan. Penerbit PT Raja Grasindo Persada memang sudah pas dalam mencetak dan memperbanyak kopian buku ini. Pembahasan tentang sejarah islam akan sangat menarik dengan kupasan persoalan mengenai sejarah peradaban islam secara mendalam
Sebagai salah satu mata kuliah dirasah islamiyah dan merupakan bagian dari mata kuliah dasar umum (MKDU) yang wajib dipelajari oleh setiap mahasiswa IAIN difakultas dan jurusan apapun, Sejarah Peradaban Islam ( dirasah islamiyah II ) memiliki arti yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan oleh mahasiswa. Kegagalan dalam mengikuti perkuliahan ini bisa berakibat sangat buruk dan mengancam kelangsungan studi mahasiswa yang bersangkutan
Apalagi melihat sampai saat ini belum ada buku yang memadai dalam memberikan penjelasan mengenai sejarah peradaban islam membuat Dr. Badri Yatim,MA pada akhirnya menerbitkan buku ini, hal tersebut juga menjadi motivasi beliau dalam terus menerbitkan karya -  karyanya yang lain untuk membantu mahasiswa dalam membantu studi perkuliahan bagi mahasiswa, adapun karya – karya yang pernah ditulis beliau yaitu seperti
1.      Alquran dan hadist ( Dirasah Islamiyah I )
2.      Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II )
3.      Hukum islam dan pranata sosial ( Dirasah Islamiyah III ) 
4.      Ilmu kalam, Fisafat dan Tasawuf ( Dirasah Islamiyah IV )
5.      Pemikiran moderen dalam islam ( Dirasah Islamiyah V )
Isi buku
Adapun yang menjadi pembahasan dalam buku Sejarah Peradaban islam ( Dirasah Islamiyah II ) yang ditulis beliau kali ini yaitu mempelajari Sejarah Peradaban Islam yang mencakup empat kawasan islam di dunia yaitu :
  1. kawasan pengaruh kebudayaan arab (Timur tengah, Afrika utara dan Spanyol)
  2. kawasan pengaruh kebuadayaan persia ( iran dan Negara - Negara islam asia tengah )
  3. kawasan pengaruh kebuadayaan Turki
  4. kawasan pengaruh kebuadayaan India – islam dan berbagai wilayah islam lainya termasuk wilayah nusantara
           
Isi buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ) ini berisi 15 BAB mengenai islam dan segala selu beluknya adapun rincian dari bab – bab yang terkandung didalam buku ini yaitu
BAB I          PENDAHULUAN
BAB II        RIWAYAT HIDUP NABI MUHAMAD
BAB III       MASA KEMAJUAN ISLAM I
BAB IV       MASA DISINTEGRASAI
BAB V        ISLAM DI SPANYOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP.
                    RENAISANS DIEROPA
BAB VI       MASA KEMUNDURAN
BAB VII      MASA TIGA KERAJAAN BESAR
BAB VIII     KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR
BAB IX       PENJAJAHAN BARAT ATAS DUNIA ISLAM DAN PERJUANGAN.  
                    KEMERDEKAAN NEGARA – NEGARA ISLAM
BAB X        KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
BAB XI       KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN.
                    BELANDA
BAB XII      KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
BAB XIII    ISLAM DI INDONESIA ZAMAN MODEREN DAN KONTEMPORER
BAB XIV    PUSAT – PUSAT PERDABAN ISLAM
BAB XV     PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

Itulah isi dari beberapa bab yang ada di dalam buku ini, dan pada hakikatnya keseluruhan dari isinya menjelaskan Sejarah Peradaban Islam dari awal bagaimana islam itu terbentuk yaitu dimulai dari arab sebelum islam, ketika nabi muhamad belum dilahirkan hingga sampai pada tahap perkembangan islam setelah masa nabi muhamad, kemudian diteruskan sampai pada masa keemasan islam. Kemudian islam pun berkembang pada masa sahabat, kemudian perluasan islam semakin luas pada masa kejayaan dinasti – dinasti besar islam hingga terus sampai pada masa kemunduranya. Dan tidak hanya sampai disitu saja perluasan islam mencapai puncaknya hingga masuk ke asia tenggara.

Sebagai buku sejarah yang bercerita tentang sejarah islam buku ini menceritakan banyak hal, sehingga banyak sekali informasi yang didapat untuk menjelaskan sejarah perkembangan islam dimasa kejayaanya dan dimasa kemunduranya, didalam buku ini pun termuat berbagai hal komplit mengenai struktur pemerintahan, pengangkatan kepala Negara dan pengakatan para gubernur serta berbagai cara dalam memperluas daerah kekusaan islam semua tertuang dalam buku Sejarah Peradaban Islam ini sehingga semua hal itu pada kenyataanya dapat dirasakan dampaknya hingga sampai saat sekarang ini.

Kelebihan Buku
Adapun kelebihan yang bisa diungkap didalam buku Sejarah Peradaban islam ( Dirasah Islamiyah II ) karya Dr. Yatim Badri, M.A ini yaitu 
1. Buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ) ini memberikan banyak sekali pengetahuan mengenai sejarah peradaban islam dimulai dari riwayat hidup nabi muhamad, perkembangan islam dimasa dinasti – dinasti kerajaan besar  bahkan sampai peradaban islam di Indonesia. Semua terangkum didalam buku kecil yang sederhana ini sehingga patut untuk dibaca tidak hanya oleh para akademisi namun juga bagi siapapun yang ingin mengetahui mengenai sejarah perdaban islam secra lebih lanjut 
2. Selain itu bahasa yang digunakan didalam buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ) bisa dibilang ringkas, mudah dan sederhana sehingga mudah untuk dipahami oleh para pembaca melalui bahasa yang lugas dan terstruktur seakan memberikan gambaran yang nyata dalam mengembangkan iamajinasi pembaca seakan pembaca dapat merasakan bagaimana sejarah peradaban islam tersebut benar benar melekat dan terjadi pada masa perkembangan islam dimasa lalu
3. Disamping itu buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ) ini juga memberikan banyak catatan kaki dan juga daftar pustaka, tidak hanya dari penulis lokal tetapi juga para penulis luar, seperti para penulis orientalis. Ini memberikan gambaran bahwa buku ini sebenarnya berusaha untuk merangkum informasi dari banyak sumber      
4. Diakhir buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ) ini Dr. Badri Yatim MA juga membuat glosarium sehingga memudahkan pembaca dalam menemukan maksud dari kata - kata asing yang jarang didengar yang termuat didalam buku ini sehingga pembaca menjadi lebih mudah dalam memahami apa yang dimaksud oleh sang penulis sendiri
5. Sebagai buku yang memuat banyak hal mengenai sejarah peradaban islam buku Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ) ini berusaha memberikan ganbaran seobjektif mungkin tentang sejarah perdaban islam tidak hanya dari sudut pandang tertentu saja tentang kebaikan – kebaikan yang pernah dilakukan umat islam, namun juga didalam buku ini diungkap mengenai sisi kelam lain masa lalu yang pernah dilakukan umat islam seperti perebutan kekuasaan, perang saudara bahkan sampai pembantaian orang orang ataupun kelompok tertentu. Semua terdapat didalam beberapa bab dibuku ini contohnya seperti terdapat pada halaman 48 mengenai bagaimana runtuhnya dinasti umayyah akibat perebuatan kekuasaan dan konflik atau halaman 107 mengenai bagaimana islam mengalami kemunduran di spanyol
6. selain itu didalam buku ini termuat pula tentang silsilah raja – raja dari dinasti dinasti yang berkuasa sehingga memudahkan para pembaca dalam mengetahui silsilah keturunan para raja – raja twersebut seperti termuat dalam halaman 116 mengenai silsilah penguasa dinasti ilkhan dan pada halaman  146 mengenai silsilah penguasa kerajaan safawi

Kekurangan Buku
Kekurangan yang sangat dirasakan di dalam buku ini adalah proporsi untuk pembahasan periode moderen sejarah dunia islam sangat kurang, dibandingkan dengan perode klasik dan periode pertengahan. Hal itu dikarenakan :
  1. Pertama. Pembahasan hanya sampai pada masa kemerdekaan Negara – negara islam, jadi tidak termasuk perkembngan Negara – negara islam setelah merdeka
  2. Kedua. Pembahasan mengenai perjuangan kaum muslimin di dalam meneakkan Negara merdeka tidak rinci, karena banyak sekali Negara islam yang harus dipaparkan dalam buku kecil ini
  3. Ketiga. Oleh karena itu percaturan pemikiran politik dinegara Negara islam dalam rangka menegakkan ajaran islam dalam Negara modern juga tidak banyak diungkap
  4. Keempat. Lebih lanjut hal itu menyebabkan lembaga – lembaga keagamaan dan peradaban Negara islam dalam islam moderen tidak tersingkap
  5. Kelima adapun kelemahan lain yang bisa kita lihat yaitu di beberapa halaman seperti halaman 19 pada buku ini terdapat ayat ayat alquran yang hanya berupa terjemahan ayatnya saja sementara ayat alquran yang berbahasa arab sama sekali tidak ditulisakn oleh Badri Yatim ini merupakan kelemahan yang kecil, namun sebagai sebuah buku yang benafaskan agama islam alangkah baiknya apabila ayat alquran dituliskan secara lengkap besrta artinya.

Semua kekurangan itu memang tidak mungkin disajikan dalam satu atau dua bab dalam buku ini. Dia membutuhkan buku tersendiri. Namun , kekurangan itu akan bias dipahami apabila kita melhat bahwa buku kecil ini memang hanya untuk pengajaran dirasah islamiyah yang disajikan dalam satu semester. Sejarah islam yang sangat luas dan sangat panjang itu terlalu banyak untuk dipelajari hanya dalam satu atau pun dua semester, meskipun demikian sebagai sebuah buku pengantar dalam kajian sejarah perdaban islam, buku ini  cukup memadai, sekalipun tidak tertutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan disana – sini.
   
Kesimpulan
Sudah jelas, dalam pembahasan buku sejarah peradaban islam pada bab I dikatakan bahwa sebuah sejarah harus dilihat siapa penulisnya dan bagaimana kondisi psikologisnya. Akan tetapi, sepertinya Dr. Badri Yatim MA, melupakan hal ini. Secara teliti kia akan melihat ada delapan catatan kaki yang diambil Dr. Badri Yatim MA dari beberapa penulis barat/eropa/amerika.
Bagi kita, bahwa jelas mereka akan meninggalkan satu atau dua bahkan lebih bukti sejarah yang membesarkan nama islam. Hal ini mungkin saja mempengaruhi keabsahan dari dasar buku mereka. Seharusnya, Dr. Badri Yatim MA, lebih teliti dalam memasukkan referensi dari penulis barat.
Gaya penulisan oleh Dr. Badri Yatim, MA, yang menggunakan metode narasi seakan-akan peresensi sedang membaca novel klasik. Ini memudahkan peresensi dalam menganalisa dan memaknai setiap maksud dan tujuan yang dituliskan oleh Dr. Badri Yatim,MA.
Secara maksimal, pembaca akan menemukan makna yang ingin disampaikan oleh Dr. Badri Yatim,MA. Dalam penulisan buku dirsah islamiyah II ini. Jadi, pembaca buku ini khususnya pada pembahasan bab ini tidak melihat faktor usia dan golongan serta jenjang kependidikan para pembaca. Para siswa SLTP, SLTA dan Mahasiswa bisa membaca dan menganalisa buku sejarah peradaban islam ini dengan tiada menemukan kesulitan yang berarti.











BUKU KETIGAkatalog-naskah-aceh
Penulis : Oman Fathurahman & Munawar Holil      (eds.)
Judul    : Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh (Catalogue of Aceh         
               Manuscripts: Ali Hasjmy Collection)
Penerbit : UIN Jakarta MANASSA (2007)
                 ; xvi + 303 halaman; foto; tabel.
Katalog ini mendeskripsikan koleksi naskah milik Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH), salah satu lembaga penyimpan naskah-naskah Aceh yang selamat dari terjangan hebat gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004.  Ali Hasjmy (lahir di Lampaseh, Banda Aceh, 28 Maret 1914; meninggal di Banda Aceh, 18 Januari 1998) adalah mantan Gubernur Aceh (1957-1964) dan salah seorang intelektual Aceh yang terkemuka. Beliau juga dikenal sebagai sastrawan, budayawan, dan ulama (pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia/MUI Aceh). Warisan kepustakaan beliau berupa naskah-naskah yang dideskripsikan dalam katalog ini, buku-buku, dan benda budaya lainnya, sekarang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (Ali Hasjmy Foundation) di Banda Aceh.
Katalog ini mendeskripsikan 232 bundel naskah koleksi YPAH yang mengandung 314 teks. Naskah-naskah tersebut dikumpulkan dari masyarakat Aceh dalam rentang waktu antara 1992-1995. Sayang sekali, sejauh yang dapat dikesan dari katalog ini, asal-muasal dan riwayat kepemilikan naskah-naskah tersebut agak luput dari perhatian pengumpul ketika mengumpulkan naskah-naskah tersebut. Sudah lama terdengar kritik bahwa dalam pengumpulan berbagai artefak tradisi tulis klasik dan tradisi lisan Nusantara, banyak kolektor abai mencatat konteks sosial dan kepemilikan artefak-artefak tersebut, padahal aspek ini tak kalah pentingnya dari informasi mengenai aspek intrinsik teks-teks itu sendiri.
Penyusunan katalog ini merupakan rangkaian dari proyek konservasi dan digitalisasi naskah-naskah koleksi YPAH. Usaha ini diprakarsai oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bekerjasama dengan Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Jepang. Mengutip kata-kata Prof. Dr. Edwin Wieringa, Guru Besar dalam bidang bahasa dan Sastra Indonesia dan Pengkajian Islam di Universitas Cologne, Jerman, yang memberi pengantar untuk katalog ini (hlm.v-vi), …pendokumentasian [ini] membantu untuk melestarikan peninggalan sejarah [Aceh].
Naskah-naskah koleksi YPAH ditulis dalam tiga bahasa: 45% bahasa Arab; 45% bahasa Melayu dan Arab; dan hanya 10% yang ditulis dalam bahasa Aceh. Sebagian besarnya berisi teks keagamaan, yang merefleksikan kuatnya keislaman masyarakat Aceh. Berdasarkan isinya, 7% dari koleksi naskah YPAH berupa Al-Quran (23 teks) yang diberi kode Q; 2% (7 teks) berisi hadis yang diberi kode HD; 2% (7 teks) berisi tafsir yang diberi kode TF; 13% (41 teks) berisi tauhid yang diberi kode TH; 24% (74 teks) berisi fikih yang diberi kode FK; 15% (47 teks) berisi tasauf yang diberi kode TS; 16% (50 teks) berisi tatabahasa yang diberi kode TB; 7% (22 teks) berisi zikir dan doa yang diberi kode ZD; 5% (15 teks) berisi hikayat yang diberi kode HK; dan 9% (28 teks) mengandung lain-lain topik yang diberi kode LL (hlm.viii). Katalog ini disusun mengikut urutan kandungan isi teks di atas.
Penyusunan katalog ini memakai sistem penomoran baru, tapi tetap menginformasikan kode naskah yang lama. Judul setiap teks ditulis dalam huruf kapital yang dihitamkan dan ditaruh dalam tanda kurung siku. Setiap deskripsi teks didahului oleh kolom-kolom yang berisi penjelasan tentang judul teks, kode naskah baru, kode naskah lama, bahasa yang digunakan, jumlah halaman, jenis kertas yang digunakan [termasuk capnya], bentuk teks, ukuran naskah [...], serta jumlah baris rata-rata per halaman. (hlm.ix). Pada teks-teks tertentu yang memiliki kolofon, informasi itu dilengkapi dengan keterangan tentang pengarang, penyalin, dan tarikh selesainya penyalinan. Penyusun menginformasikan keterangan fisik naskah, ringkasan isi, dan keterangan tambahan. Dalam ringkasan isi kadang kadang dikutip bagian dari tulisan teks yang ditaruh dalam tanda petik dan dicetak miring. Dan dalam kasus kutipan-kutipan yang berbahasa Arab, penyusun menyediakan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Keadaan fisik naskah-naskah dalam koleksi ini berkisar antara baik, kurang baik, dan rusak. Namun, tidak ada kriteria yang jelas untuk masing-masing istilah itu. Dalam hal ini saya setuju dengan apa yang dikatakan Dick van der Meij dalam resensinya terhadap katalog ini dan beberapa katalog sejenis lainnya dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 164.2/3 (2008) bahwa istilah-istilah tersebut subjektif dan sangat tergantung kepada perasaan (mood) si penyusun. (Dalam katalog-katalog lainnya terdapat variasi penyebutan kondisi fisik naskah ini, seperti cukup baik, mulai rusak, sangat buruk, rusak berat, masih bagus, dan masih baik).
Beberapa teks dilengkapi dengan reproduksi foto naskah aslinya. Terdapat 33 foto naskah dalam katalog ini. Sayangnya, caption setiap foto tidak menginformasikan halaman naskah yang dipotret. Pada lampiran terdapat tambahan empat foto lagi yang memuat potret Ali Hasjmi dalam bentuk lukisan serta beberapa jepretan bagian interior dan eksterior Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmi di Jalan Jendral Sudirman No 20/28 Lamtemen, Banda Aceh (hlm.295-96).
Deskripsi masing-masing teks (fisik maupun non fisik) dalam katalog ini lebih kaya daripada deskripsi teks dalam dua katalog terdahulu terbitan C-DATS (Katalog Naskah Palembang (2004) dan Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau (2006)). Dalam katalog ini penyusun juga mencantumkan rujukan silang dalam keterangan tambahan beberapa naskah yang sebelumnya sudah pernah diteliti orang. Artikel Jajat Burhanudin Naskah dan Tradisi Intelektual-keagamaan di Aceh yang dimuat dalam katalog ini (hlm.1-6) sangat bermanfaat bagi pembaca untuk memperoleh gambaran historis mengenai tradisi keberaksaraan orang Aceh di masa lampau serta peran dan eksistensi naskah dalam kehidupan orang Aceh yang sangat dipengaruhi oleh agama Islam.
Penerbitan katalog ini jelas sangat bermanfaat untuk membuka akses bagi khalayak yang lebih luas untuk mengetahui kekayaan koleksi naskah YPAH. Usaha dua orang akademisi muda asal SundaDr. Oman Fathurahman dan Drs. Munawar Holil, M.Hum.menyusun katalog ini patut dihargai. Sekarang Dr. Oman bersama rekan-rekan peminat dan pemerhati sastra klasik, bekerjasama dengan rekan-rekan mereka di Aceh, melanjutkan usaha penyelamatan naskah-naskah Aceh yang tersimpan di Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh Besar. Pembangunan gedung baru untuk penyimpanan koleksi naskah Dayah Tanoh Abee sedang dilaksanakan dengan bantuan biaya dari Prins Klaus Fund dari Belanda (2006).
Tahap selanjutnya adalah restorasi, digitalisasi, dan katalogisasi naskah-naskah koleksi Dayah Tanoh Abee di bawah payung proyek untuk Aceh di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) yang sedang berjalan. Berdasarkan pengalaman di daerah lainnya di Indonesia, tahap ini cukup sulit untuk dilewati karena misi akademis berhadapan dengan keyakinan tradisional dan eksklusivisme kedaerahan yang sering dibikin sensitif oleh isu-isu perdagangan ilegal national heritages Indonesia ke negara lain Tak sedikit pula yang menangguk di air keruh untuk kepentingan politik sesaat.
Usaha restorasi, digitalisasi, dan katalogisasi koleksi naskah Dayah Tanoh Abee pun tak lepas dari isu ini, seperti terefleksi dalam kecurigaan seorang Aceh bernama Kamaruzzaman Bastaman-Ahmad terhdap Dr. Oman Fathurahman (lihat debat antara keduanya facebook Dr. Oman Fathurahman:; dikunjungi 1-2-2009). Kiranya katalog ini cukup untuk memberi keyakinan kepada kita bahwa kerja pernaskahan yang dilakukan Dr. Oman di Aceh semata-mata adalah sebuah misi akademis dalam rangka menyelamatkan khazanah manuskrip Aceh.
Dalam usaha penyelamatan dan penelitian naskah-naskah Indonesia di berbagai daerah, seluruh stakeholder yang ada, khususnya kalangan akademisibaik di pusat maupun daerahsemestinya dapat saling bekerjasama dengan baik. Mereka harus mampu mengambil jarak dari hingar-bingar dunia politik kita yang tak berkeruncingan ini.